Desa Deir Yassin terletak di sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 800 m, sekitar 5 km sebelah barat Kota Al Quds, Yerusalem, Palestina.
Lokasinya sangat strategis, dan dalam beberapa masa menjadi pusat pergerakan ekonomi yang luar biasa sebelum dan sesudah Mandat Inggris.
Lahan pertaniannya juga terkenal subur, dengan menghasilkan biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan. Zaitun adalah tanaman utama andalan penduduk setempat.
Namun, kondisi aman mulai terusik dengan kehadiran beberapa warga Yahudi, yang datang membonceng pasukan Inggris di bawah Jenderal Allenby pada tahun 1917. Beberapa pemukim Yahudi pun mulai tinggal di desa itu, tapi hidup dalam keselamatan dan keamanan di desa.
Lalu, setelah merasa cukup berkuasa, dengan dukungan persenjataan yang memadai, Zionis Yahudi-pun mulai melancarkan aksi kejamnya.
Pengkhianatan Deir Yassin
Rencana jahat dimulai dengan penandatanganan perjanjian damai yang diminta oleh para kepala pemukiman Yahudi dan disetujui oleh orang-orang desa Deir Yassin.
Namun, di balik perjanjian itu, pemukim Yahudi mulai mengintimidasi dan meneror warga dan memaksa mereka untuk meninggalkan tanah mereka.
Hingga puncaknya, di bawah pengaturan jahat dua kelompok Zionis Yahudi, Irgun dan Stern, menyerang desa itu pada waktu fajar, dua pekan setelah kesepakatan bersama. Pembantaian itu berlangsung dengan cepat, brutal dan sadis, pada 9 April 1948.
Kedua kelompok ini didukung kuat oleh pasukan tempur Haganah, angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi Yishuv, masa Mandat Britania atas Palestina. Pasukan Haganah terdiri dari tiga brigade Palmach, yang membidangi udara, laut dan intelijen.
Kelompok penyerang pertama, Irgun saat itu dipimpin oleh Menachem Begin. Ia kemudian dipilih sebagai Perdana Menteri “Israel” ke-6 tahun 1977-1983.
Begin, kelahiran Hassia Biegun, wilayah yang pada waktu itu di bawah Kekaisaran Rusia. Ayahnya adalah pemimpin komunitas Zionis, pengagum berat Theodor Herzl, pendiri Zionis Internasional.
Sedangkan kelompok penyerang kedua, Stern diketuai oleh Yitzhak Shamir, yang kemudian mendapat jatah sebagai Perdana Menteri “Israel” ke-7, tahun 1983-1984.
Shamir, yang mengenyam pendidikan sekolah menengah Ibrani di Polandia, tergabung dalam Betar, gerakan pemuda Revisionis Zionis.
Kedua kelompok ini memulai serangan dengan menyerbu desa dari timur dan selatan pada sekitar jam 3 dini hari, untuk mengejutkan warga yang sebagian besar sedang tertidur.
Walau terkaget atas serangan mendadak itu, di tengah kesepakatan damai dua pekan sebelumnya, penduduk setempat masih sempat mengadakan perlawanan sengit dengan senjata seadanya yang ada di rumah.
Sementara pihak penyerang dengan senjata api dan mortir menghujani desa dengan peledak api.
Serangan Brutal dan Sadis
Penyerang meledakkan rumah-rumah dan membunuh setiap warga yang bergerak. Mereka juga menggiring puluhan anak-anak, wanita, dan orang tua ke tembok dan menembaki mereka.
Tercatat juga penyerang biadab memutilasi tubuh para syuhada, membunuh ibu-ibu yang sedang mengandung, dan memperkosa beberapa wanita.
Sekitar 25 orang desa dibawa ke dalam bus dan diarak ke jalan-jalan di Yerusalem, sudah itu dieksekusi oleh regu tembak.
Menurut keterangan saksi mata, para penyerang Yahudi mengambil sejumlah keluarga yang masih hidup dengan mobil dan memperlihatkannya pada para korban pembantaian. Di tegah nyanyian rasis dengki yang berkumandang di mana-mana.
Menurut sumber, sekitar 254 dari 750 penduduk menjadi syuhada menemui ajalnya, kebanyakan dari mereka anak-anak, wanita dan orang tua.
Namun, para penyerang Yahudi ternyata tidak dapat menguasai sepenuhnya desa itu, karena mengalami kesulitan di lapangan dan aksi perlawanan rakyat sipil yang tiada henti.
Menurut kesaksian para korban yang selamat dari pembantaian itu, bahwa serangan terjadi begitu tiba-tiba dimulai sekitar pukul tiga pagi.
“Namun kaum penyerang Zionis pada waktu itu juga terkejut oleh perlawanan balik serangan api dari penduduk, yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya,” ujar saksi mata.
Data menyebutkan, orang-orang Yahudi penyerang yang tewas 4 orang, dan setidaknya 32 orang terluka, seperti disebutkan Al-Akhbar Yaum.
Penjajahan Harus Dihapuskan
Sekitar satu tahun setelah pembantaian itu, pasukan pendudukan mengadakan perayaan di desa Deir Yassin, dengan dihadiri oleh anggota pemerintah Israel dan para rabi Yahudi.
Pada tahun 1980, pendudukan Israel membangun kembali bangunan asli desa, dan memberikan nama-nama jalan Israel, seperti Irgun, Etzel, Palmach dan Haganah.
Ya, itulah desa Deir Yassin, kini 73 tahun telah berlalu. Tanah seluas 12 hektar itu tetap akan menjadi saksi kejahatan para penjajah Zionis yang merampas, yang menumpahkan darah tanpa perikemanusiaan, dan kejahatan kemanusiaan.
Namun demikian ini sekaligus saksi perlawanan tiada henti warga sipil Palestina menghadapi serangan penjajahan.
Sebuah desa di negeri Palestina yang namanya masih dan akan terus diabadikan dengan orang-orangnya di hati orang-orang dan pejuang Palestina. Perjuangan epik di hadapan penyerang Yahudi Israel, yang kini diabadikan dalam buku sejarah, bahwa “tidak ada era bagi orang Yahudi sampai Hari Penghakiman.”
Dunia internasional tentu tidak buta, dunia Islam apalagi tentu punya ruh perjuangan. Pembunuh, kekerasan dan perampasan meniru Nazisme dan ide-idenya mengenai pembersihan etnis melalui pertumpahan darah orang-orang tak berdosa, tidak bisa dibiarkan.
Hingga penjajahan itu harus dihapuskan dari permukaan bumi ini, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan itu, tanggung jawab semua manusia yang masih memiliki jiwa kemanusiaan. (hanoum/arrahmah.com)