BEIJING (Arrahmah.com) – Ilham Tohti, cendekiawan Muslim Uyghur, akhirnya memecah keheningan untuk pertama kalinya sejak penangkapannya lima bulan lalu. Aktivis etnis minoritas Uyghur ini mengatakan kepada pengacaranya pada wawancara oleh Radio Free Asia (RFA), Kamis (26/6/2014) bahwa selama penahanan, ia dibelenggu dan kekurangan makanan dan air.
Pada pertemuan pertamanya dengan pengacara Li Fangping dan Wang Yu sejak penangkapan Januari lalu, Tohti juga menolak mentah-mentah tuduhan separatisme yang ditujukan kepada dirinya oleh Pemerintah China.
Ia mengatakan dirinya tidak diberi makan dan diberi satu setengah gelas air selama 10 hari pada bulan Maret dalam sebuah hukuman akibat menolak untuk bekerja sama dengan pihak berwenang.
“Dia tidak diberi makan, pusat penahanan memotong jatah nya makanan dan air,” kata Wang Yu kepada RFA setelah pertemuan enam jam di sebuah pusat penahanan di wilayah Xinjiang barat laut China. “Ilham Tohti bertahan hidup selama 10 hari hanya dengan satu setengah gelas air,” katanya.
Wang mengatakan bahwa Tohti, advokat senior yang mengusung hak Uyghur dan pengkritik keras kebijakan Cina di wilayah Xinjiang, telah terus-menerus menolak tuduhan separatisme yang dilontarkan terhadap dirinya.
“Untuk menilai dari apa yang dia katakan, dia seharusnya tidak mengaku bersalah kepada mereka. Ia tidak mendukung separatisme kekerasan, maupun separatisme pada umumnya. Ia mendukung persatuan nasional dan etnis,” katanya.
Tohti, seorang profesor ekonomi di Universitas Pusat Nasionalitas di Beijing, diseret pergi dari rumahnya di ibukota Cina oleh puluhan polisi pada 15 Januari 2014, dan resmi ditahan pada 20 Februari atas tuduhan separatisme.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa penahanan Tohti adalah bagian dari strategi luas Beijing untuk meredam suara sebagian besar Muslim Uyghur, yang menyebut Xinjiang sebagai tanah air mereka.
Hal ini juga menggarisbawahi peningkatan garis keras sikap Beijing terhadap perbedaan pendapat seputar Xinjiang, di mana Uighur mengatakan mereka telah lama mengalami diskriminasi etnis, kontrol agama yang menindas, dan terus sengaja ditekan dalam kemiskinan dan pengangguran. (adibahasan/arrahmah.com)