(Arrahmah.com) – Sekalipun umat Islam warga negara mayoritas di Indonesia, tapi posisi Islam dalam pengelolaan negara hanya peran pinggiran. Bahkan setiapkali ada upaya untuk bangkit dan menyerukan berlakunya syariat Islam, selalu dituduh musuh negara. Kalaupun ada tokoh atau partai Islam terlibat dalam pemerintahan negara, para tokohnya selalu mudah takluk di depan kekuasaan, dan melupakan misi Islam yang diamanahkan kepadanya.
Oleh karena itu menjadi penting bagi umat Islam untuk mengetahui, adakah cara Islami meraih kekuasaan negara? Semua ideologi dunia berambisi menguasai pemerintahan negara untuk melaksanakan misi ideologinya. Komunisme di Indonesia pernah melakukan pemberontakan melalui G30S PKI yang berdarah-darah. Syiah ingin merebut kekuasaan dari dominasi Muslim di Irak, Suriah, Yaman dan ditempat lainya. Sekularisme ingin terus bercokol di setiap negara, baik atas nama demokrasi, liberalisme atau melakukan sekularisasi agama.
Lalu bagaimana dengan Islam dan kaum Muslimin? Tugas dan fungsi dakwah yang diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Islamisasi masyarakat dan negara. Menggunakan kekuasaan negara untuk menanamkan akidah yang benar pada masyarakat, adalah metode perjuangan Rasulullah Saw. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai Muhammad, berikanlah perumpamaan kepada penduduk Makkah, bahwa dahulu ada suatu negeri yang kedatangan utusan Allah. Penduduk negeri itu mendustakan dua orang utusan Kami. Kedua utusan Kami itu Kami kuatkan dengan utusan yang ketiga. Mereka berkata kepada penduduk negeri itu: “Kami bertiga adalah utusan Allah kepada kalian.” (QS Yaasiin (36) : 13-14)
Ayat ini mengindikasikan, pentingnya lembaga dakwah serta kader dakwah yang secara masif menyeru masyarakat untuk hidup dibawah naungan syariat Allah. Kader dakwah harus banyak, tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, harus melibatkan semua komunitas umat Islam. Ketika masyarakat menolak dai yang satu dilanjutkan oleh dai yang lainnya. Tidak boleh terputus.
Bandingkan dengan kondisi organisasi dakwah zaman sekarang. Hampir rata-rata tidak punya ideologi, sementara tokoh-tokohnya plin-plan, tidak berprinsip sehingga mudah ditaklukan lawan. Ketika datang demokrasi ikut demokrasi, saat datang komunis ikut komunis, datang syiah ikut syiah. Dalam perjalanan dakwah di Indonesia, kita mengenal banyak tokoh dai nasional yang terkenal, punya jutaan pengikut, militan, orator, tapi mudah takluk dengan iming-iming jabatan. Tidak konsisten memegang prinsip. Jika tidak takluk dengan jabatan, ditekan dan diancam penjara mereka betubah sikap. Munculnya ulama, dai, muballigh yang mencari pembenaran misi dakwah berdasarkan demokrasi, pluralusme, HAM, maka yang terjadi adalah penyesatan umat.
Mengapa perjuangan dakwah selalu gagal membawa gerbong umat ini menguasai kekuasaan negara, sekalipun telah banyak pengorbanan. Karena para penyeru dakwah ini mudah tergerus akidahnya dengan mengikuti tradisi, ideologi, budaya, dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat. Bahkan tidak sedikit ulama dan tokoh ormas-orpol Islam yang mekakukan kolaborasi keagamaan, dengan cara mengadakan doa bersama, ikut natal bersama, menjaga gereja tapi menghujat sesama muslim. Padahal dalam berdakwah kita mesti memohon petunjuk Allah, mencari solusi sesuai kitabullah dan sunah rasul:
“Ingatlah ketika beberapa orang pemuda berlindung di gua itu, lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami, tetapkanlah hati kami dalam Islam dan berikanlah jalan keluar kepada kami dalam menyelesaikan urusan kami.” (QS Al-Kahfi (18) : 10)
Negara berbasis syariat Islam tidak mungkin dibangun di atas pondasi masyarakat yang bobrok, tidak mengerti Islam. Sementara tokoh-tokohnya lemah, hakim, polisi, dan pejabat negara terdiri dari orang-orang yang tidak setuju syariat Islam. Ketika masyarakat menyadari pentingnya syariat Islam di lembaga negara, kita tidak memiliki pakar yang ahli, yang akidahnya lurus, memiliki pemahaman yang konprehensif, konsisten dan konsekuen.
Contohnya, Pakistan. Sebagai negara Islam, institusi negaranya tetap eksis, tapi Islamnya hilang. Karena para pejabat negara, polisi, hakim, didominasi oleh mereka yang membenci Islam.
Oleh karena itu pentingnya membina kualitas pemimpin yang memahami Islam, berani dan istiqamah. Adalah tugas ormas, orpol Islam tanpa kecuali untuk menyadari dan segera bangkit untuk menyatukan misi dakwah, “tegaknya syariat Islam di lembaga negara”.
Segala aktifitas dakwah, pendidikan, majelis ta’lim, parpol, agar seluruhnya diarahkan ke tujuan ini. Seperti sebuah ungkapan, “tegakkan syariat Islam dihatimu, niscaya dia akan tegak di negaramu”. Wallahu a’lam bish shawab.
Serial kajian malam Jum’at di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta, 22 April 2016.
Narsum: Amir Majelis Mujahidin, Al Ustadz Muhammad Thalib
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)