PARIS (Arrahmah.com) – Pemimpin kelompok politik sayap kanan dan calon kandidat presiden pada Pilpres Prancis 2022 mendatang, Marine Le Pen, mengusulkan larangan hijab dan seluruh bentuk penutup kepala yang dikenakan perempuan Muslim di semua tempat umum
Le Pen kembali menjual isu sensitif langganan di Prancis tersebut guna membangun citra politik, ketika dirinya mencatatkan peringkat jajak pendapat yang cukup tinggi hampir setara dengan petahana Presiden Emmanuel Macron.
Usulan kebijakan larangan hijab itu –yang hampir pasti akan diperdebatkan di pengadilan –mengingatkan kembali ke tema kampanye yang akrab seperti pada pemilu Prancis 2017 silam.
“Saya menganggap bahwa jilbab adalah barang pakaian Islamis,” kata Le Pen kepada wartawan dalam konferensi berita pada Jumat (29/1/2021), sebagaimana dilansir France24.
Dia pun mengusulkan agar undang-undang baru dibuat untuk melarang “ideologi Islam” yang disebutnya “totaliter dan pembunuh”.
Sejak mengambil alih partai sayap kanan utama Prancis dari ayahnya, Marine Le Pen telah mencalonkan diri dua kali untuk kepresidenan Prancis, kalah telak pada 2017 dari pendatang baru politik Macron.
Tetapi jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan Le Pen lebih dekat dari sebelumnya ke kursi presiden dan telah menyebabkan spekulasi baru tentang apakah seruannya atas isu-isu populis seperti anti-Uni Eropa dan anti-imigrasi akan bisa mengantarkannya bermukim di Istana Elysee.
Survei yang keluar pada pekan ini dari Harris Interactive menunjukkan Le Pen dalam jarak yang mencolok dari Macron. Meski masih di belakang sang presiden, Le Pen mengumpulkan 48 persen, sementara Macron 52 persen.
“Ini adalah jajak pendapat, ini adalah cuplikan sesaat, tetapi apa yang ditunjukkannya adalah bahwa gagasan saya menang adalah kredibel, masuk akal bahkan,” kata Marine Le Pen dalam konferensi pers.
Jean-Yves Camus, seorang ilmuwan politik Prancis yang berspesialisasi dalam politik sayap-kanan mengatakan Le Pen mendapat manfaat dari frustrasi dan kemarahan rakyat atas pandemi Covid-19, dengan Prancis di ambang penguncian ketiga, serta isu kekerasan berbasis ekstremisme seperti kasus pemenggalan kepala seorang guru pada Oktober 2020 lalu.
“Itu berdampak besar pada opini publik,” kata Camus. “Dan di daerah ini, Marine Le Pen memiliki keuntungan: partainya terkenal karena posisinya mengecam Islamisme.”
Kemenangan Le Pen “tidak mungkin pada tiga setengah tahun yang lalu (Pemilu 2017)”, kata komentator politik veteran Alain Duhamel kepada saluran berita BFM minggu ini.
“Bahwa tampaknya bagi saya itu menjadi mungkin (Le Pen akan menang).” (Hanoum/Arrahmah.com)