ALOR (Arrahmah.id) – Calon pendeta berinisial SAS di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur diduga memperkosa 14 orang. SAS juga merekam sendiri aksi kejinya itu.
Tim penyidik Kepolisian Resor Alor mengungkapkan bahwa jumlah korban dugaan kekerasan seksual SAS awalnya 12 orang, kini bertambah menjadi 14 orang. Sebagian besar di antaranya anak di bawah umur.
“Ada dua lagi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh SAS yang melapor ke Polres Alor,” kata Kepala Polres Alor Ajun Komisaris Besar Polisi Ari Satmoko saat ditemui di Kupang, seperti dilansir Antara, Jumat (16/9/2022).
SAS diduga telah melakukan perbuatan asusila terhadap korban yang sebagian besar anak di bawah umur sejak Mei 2021 hingga Maret 2022. Selain sebagai korban kekerasan seksual, belasan anak itu juga diketahui sebagai korban pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kombes Ari Satmoko menjelaskan dari 14 korban kekerasan seksual itu, ada 10 orang adalah anak usia di bawah 17 tahun, sedangkan empat korban lainnya remaja berusia di bawah 19 tahun.
Sejumlah saksi sudah diperiksa penyidik Polres Alor, termasuk para korban dan orang tuanya. Para korban yang diperiksa adalah saksi bagi korban yang lain.
“Beberapa korban sudah menjalani visum di rumah sakit dan sudah memberikan keterangan terkait kasus ini,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau.
Mengenai akibat yang dialami oleh para korban dari tindak kekerasan seksual yang dilakukan tersangka SAS, Kapolres menegaskan hingga kini belum ada.
Kalau akibat langsung sampai hamil belum ada sampai saat ini,” tambahnya.
Calon pendeta itu dijerat dengan Pasal 81 ayat 5 Jo Pasal 76 huruf d Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Tersangka SAS juga dikenakan pasal pemberatan karena korbannya lebih dari satu orang.
Selain terancam hukuman mati atau seumur hidup, tersangka juga terancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Selain itu, SAS juga terancam dijerat dengan pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tersangka merekam atau membuat video serta memotret para korbannya sebelum bahkan sesudah melaksanakan aksi bejatnya tersebut.
(ameera/arrahmah.id)