Oleh : Abdus Salam
(Ketua Lajnah Siyasiyah HTI DPD Sulawesi Selatan)
(Arrahmah.com) – Pemilu 2014 kurang 36 hari, jika benar-benar diselenggarakan sesuai jadwal 09 April 2014. Harapan semua pihak terutama yang berkepentingan sukses penyelenggaraannya, bisa berjalan lancar dengan tingkat partisipasi politik pemilih yang tinggi. Secara faktual, pemilu 2014 dibayang-bayangi oleh kekhawatiran tingginya tingkat prosentase golput, legitimasi keabsahannya, dan ketidak siapan prosesi penyelenggaraannya. Kekhawatiran tingginya tingkat prosentase golput diindikasikan oleh statement keras KPU bahwa golput dipidana. Meski terkesan agak berlebihan menginterpretasikan UU Pemilu tentang golput. Indikasi lain adalah fatwa MUI tentang golput haram. Sementara itu banyak pengamat memprediksikan kecenderungan golput meningkat jika dibandingkan tahun 2009. Diperkirakan pada kisaran lebih dari 30 persen jumlahnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI R. Siti Zuhro, Rabu (5/2/2014) di Media Center DPN PKPI, Jakarta. Dan menurut Zuhro, faktor dominan penyebab golput adalah karena apatis dan tidak percaya lagi publik terhadap politik. Golongan golput ini besar terutama di kota-kota besar propinsi. Terutama pada kelompok menengah ke atas.
Legitimasi keabsahan pemilu 2014 juga membayangi penyelenggaraannya. Saat MK mengabulkan permohonan judicial review baik oleh kelompok Koalisi Masyarakat Sipil yang dikomandani oleh Efendy Ghozali maupun oleh Yusril Ihza Mahendra. Dimana MK memutuskan bahwa Pemilu (Pileg dan Pilpres) Serentak yang menjadi substansi uji materiil (judicial review) berlaku pada pemilu 2019. Artinya bahwa pemilu 2014 dipertanyakan keabsahannya. Tak pelak beberapa tokoh partai menyampaikan ungkapan kegelisahan tentang hal itu. Diantaranya Sutiyoso (PKPI), menyebut “Saya khawatir pelaksanaan pemilu 2014 yang mengeluarkan biaya dan tenaga cukup banyak, hasilnya bisa digugat, dan MK kalah bila mengacu pada undang-undang keputusan MK yang seharusnya bersifat langsung,” ujarnya. Hal senada juga disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra, “Jika Pemilu 2014 mendatang tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, maka hasil pemilu itu inkonstitusional.
Tentang ketidaksiapan prosesi penyelenggaraannya adalah berkaitan dengan potensi kecurangan yang disebabkan oleh pengelolaan DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang masih belum tuntas dan cuaca di bulan-bulan April yang menjadi tantangan tersendiri bagaimana proses distribusi perangkat-perangkat pencoblosan suara dilakukan. Apalagi belum juga seminggu gugatan class action No. 44/Pdt.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 6 Pebruari 2014 ajuan Advokat Taufik Budiman SH berada di Lembaga Peradilan yang dibawahi Lembaga Tinggi Negara yang bernama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Lembaga Negara bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 12 Pebruari 2014 menyatakan bahwa “Tahapan Siap, Pemilu Tetap 9 April”. Ini terkesan KPU terburu-buru.
Di antara bayang-bayang persoalan seputar Pemilu 2014, ada sisi lain yang menarik adalah statement : “Bahwa sistem Pemilu yang berlaku saat ini memang memungkinkan calon anggota legislatif yang gagal terpilih, menjadi gila. “(Karena) sistemnya ini terlalu membuka lebar pintu bagi orang untuk bereksperimen perilaku,” ujar Prof Dr Hamdi Muluk dari UI, Sabtu (15/2). Fenomena caleg gila dipicu oleh sistem pemilu proporsional terbuka dan banyak partai. Sistem itu memicu kompetisi caleg antar partai dan intern partai. Di tengah banyak parpol yang memalak calegnya. Atas nama seleksi kemampuan. Dan banyak caleg berspekulasi mencari peruntungan melalui pemilu. Saat gagal, maka akan muncul kecenderungan banyak caleg gila. Karena mereka harus mengembalikan uang yang dikeluarkan untuk kampanye. Atau pura-pura menjadi gila karena ditagih hutang.
Akhirnya keinginan tinggi suksesnya Pemilu 2014, harusnya bukan sekedar ditopang oleh semangat yang besar saja. Namun disertai juga upaya serius mengidentifikasi akar persoalan mendasar yang membayangi Pemilu. Yang mengakibatkan rendahnya partisipasi politik pemilih karena apatis. Unlegitimasi legal of frame pemilu buah dari tarik ulur pembahasan substansi UU pemilu yang sarat dengan conflict of interest. Kisruh DPT sampai dengan persaingan tidak sehat antar caleg implikasi dari kultur politik kekuasaan. Kita bisa memahami kemudian bahwa persoalan seputar pemilu 2014 adalah persoalan sistemik. Sebagaimana sistemiknya persoalan lain yang muncul. Penyelesaian persoalannya harus dengan solusi yang sistemik, komprehensif dan integral. Penting direnungkan untuk berani berpikir merubah referensi ideologi negara yang kapitalis liberalis dengan sistem politik Demokrasi ini. Yang melahirkan kultur politik bargaining of power. Dengan referensi ideologi negara yang berakar pada keyakinan mayoritas bangsa ini. Yang terbukti secara historis, empiris dan konseptual membawa kerahmatan bagi seluruh manusia. Yakni ideologi Islam kaffah dalam bingkai sistem politik -Khilafah Islamiyah-. (arrahmah.com)