Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Pesta pemilu tahun 2024 telah berlalu. Kemeriahan yang disuguhkan, ternyata menyisakan kepedihan mendalam bagi sebagian caleg yang gagal meraih kursi kekuasaan. Tak sedikit dari mereka mengalami depresi dan berujung pada perbuatan yang tidak terpuji. Kekalahan sejumlah caleg ini mengakibatkan tekanan pada tim sukses. Seperti yang terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua timses mengalami tekanan hingga harus mengambil kembali amplop yang telah dibagikan pada warga. Sementara itu, oknum timses salah satu caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, melempar rumah timses caleg lawan karena diduga melakukan kecurangan. (tvonenews.com, 18 Februari 2024).
Lain cerita di Jambewangi, Desa Sempu Banyuwangi, Jawa Timur, seorang caleg menarik kembali bantuan paving block untuk warga karena memperoleh suara yang tak diinginkan. (kompas.com, 19 Februari 2024). Sedangkan di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang, Jawa Barat, caleg yang gagal membongkar jalan yang telah ia bangun. Caleg tersebut beserta timsesnya menyalakan petasan di atas menara pada siang dan malam hari. Aksinya telah menyebabkan seorang warga meninggal dunia akibat serangan jantung. (okezone.com, 25 Februari 2024).
Nasib tragis pun dialami timses caleg di Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Yang melakukan aksi bunuh diri di pohon rambutan hingga tewas. Aksi nekadnya dikarenakan caleg yang didukungnya gagal meraih kursi anggota dewan pada pemilu bulan lalu. (mediaindonesia.com, 19 Februari 2024).
Sungguh miris, fakta yang terjadi pasca pemilu lalu menyisakan cerita tragis yang dialami caleg dan timsesnya. Hal ini menunjukan betapa lemah mental mereka saat tujuan dan ambisi tidak tercapai. Saat raihan suara tak sesuai harapan, menyebabkan tekanan, stress, depresi yang berujung bunuh diri menjadi fenomena kelam. Seakan-akan, kalah dalam pemilu membuat dunia mereka hancur lebur.
Caleg Dalam Kapitalisme Semata Untuk Meraih Jabatan
Fenomena depresi yang terjadi saat orang-orang gagal terpilih dalam pemilu, diakibatkan pandangan mereka yang salah terhadap jabatan. Kacamata kapitalisme melihat jabatan sebagai jalan untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan materi.
Demi mendapatkan jabatan yang diinginkan, mereka rela merogoh kantong lebih dalam bahkan tak sedikit yang berhutang sana-sini asalkan bisa membeli suara rakyat. Bersaing secara ketat dalam kontestasi, tak jarang melakukan kecurangan, saling sikut, bahkan melakukan tindakan tak terpuji. Tak sedikit yang menjual aset-asetnya seperti rumah, mobil, tanah, dan lainnya, untuk kampanye, bagi-bagi sembako, serangan fajar menjelang pencoblosan, tak jarang pula membantu pembangunan sarana dan prasarana untuk meraih simpati masyarakat.
Akan tetapi di saat semua pengorbanan telah dilakukan demi jabatan dan ternyata gagal, mereka kecewa hingga mengalami depresi. Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan. Gagal saat nyaleg, jabatan tinggal impian, maka depresi menghampiri.
Banyaknya caleg dan timsesnya yang terjangkiti depresi bukan saja karena gagal mendapat jabatan, namun banyak kehilangan harta benda demi mencalonkan diri. Sebab pemilu dalam naungan sistem demokrasi merupakan pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Tidak ada yang cuma-cuma, terutama suara rakyat. Tak sedikit rakyat memanfaatkan momen bagi-bagi amplop, karena mereka berpikir para caleg yang lolos melenggang akan mendapatkan gaji besar. Sehingga uang yang sudah dikeluarkan akan terganti dengan yang lebih besar. Padahal, isi amplop yang didapat rakyat sangatlah kecil dibandingkan dengan segala hal yang didapat para pejabat.
Demikianlah kesalahan pandangan yang kadung mengakar di benak masyarakat terhadap jabatan. Hal ini terjadi akibat prinsip sekulerisme yang telah berurat berakar dalam kehidupan saat ini. Sehingga, perbuatan tak dilihat lagi apakah halal atau haram. Sebab sebagian rakyat menganggap bukan sebagai sogokan melainkan rezeki lima tahunan.
Jabatan Dalam Kacamata Islam
Karena jabatan merupakan amanah berat, maka ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat dalam sistem Islam. Hanya orang bertakwa yang boleh memimpin dan mengatur urusan rakyat. Sedangkan orang-orang fasik dan zalim tidak boleh menjadi pejabat. Sebab akan membawa rakyat pada kesengsaraan.
Dalam sistem Islam, figur pejabat adalah orang-orang yang takut pada Allah Ta’ala. Sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi maupun kelompok tatkala mendapatkan amanah mengurusi rakyat. Ada sejumlah syarat atau kriteria yang Islam tetapkan dalam memilih pemimpin di antaranya laki-laki, baligh, berakal, muslim, merdeka, adil, dan mampu. Sehingga dengan syarat tersebut akan mampu menghasilkan pemimpin yang adil.
Terkait pemilihan pemimpin, syara telah menentukan bahwa rakyat memiliki wewenang untuk menentukan pemimpin negara maupun perwakilan rakyat yang duduk di Majelis Umat (lembaga berisi wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat pada penguasa, tetapi tidak memiliki fungsi legislasi). Proses pemilu di dalam Islam sangat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran.
Tidak ada janji-janji manis yang dipertontonkan pada rakyat untuk meraih simpati dan dukungan. Karenanya, tidak akan ada praktik politik uang saat pemilu dalam sistem Islam. Pemilihan berlangsung secara adil sesuai syariat Islam. Pemilihan yang adil ini didukung oleh para calon yang berkepribadian Islam. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, yang memandang jabatan sebagai amanah besar yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Sedangkan keterlibatan mereka di dalam pemilihan pemimpin sebagai bentuk meraih rida Allah semata. Dengan demikian, pemilu bukanlan ajang meraih jabatan untuk memperkaya diri dan kelompok, melainkan menjalankan amanah yang dipercayakan rakyat kepada mereka sebagai pemimpin yang mampu menjalankan dan melaksanakan sesuai dengan aturan Islam.
Wallahu a’lam bish shawab.