WASHINGTON (Arrahmah.com) – Council on American-Islamic Relations (CAIR) memperingatkan Muslim Amerika pada Selasa (27/10/2020) agar tidak bepergian ke Prancis, dengan mengatakan mereka mungkin menghadapi bahaya dan diskriminasi di sana.
Organisasi advokasi dan hak sipil Muslim terbesar di negara itu mengeluarkan peringatan perjalanan di situs webnya “di tengah kampanye ‘munafik dan berbahaya’ dari kefanatikan Islamofobia yang menargetkan Muslim Prancis, masjid, dan organisasi Islam.”
Itu mengutip serangan penikaman rasis terhadap dua wanita Muslim di Paris dan larangan hukum terhadap pakaian keagamaan, termasuk jilbab bagi Muslimah.
Dalam sebuah pernyataan, Direktur Eksekutif Nasional CAIR Nihad Awad meminta pemerintah Prancis untuk mengakhiri “kampanye kefanatikan yang irasional, ilegal, dan munafik terhadap warganya sendiri.”
“Setiap orang di Prancis harus memiliki hak untuk menjalankan agama mereka, dan setiap orang di seluruh dunia memiliki hak untuk memutuskan produk mana yang mereka beli,” kata Awad, seperti dilansir Anadolu Agency.
Awal bulan ini, Presiden Emmanuel Macron menyebut Muslim Prancis sebagai “separatisme” dan menggambarkan Islam sebagai “agama yang mengalami krisis di seluruh dunia.”
Ketegangan semakin meningkat setelah pembunuhan Samuel Paty, seorang guru di Bois-d’Aulne College di Conflans-Sainte-Honorine yang dibunuh pada 16 Oktober oleh Abdullakh Anzorov, seorang anak berusia 18 tahun asal Chechnya, sebagai pembalasan karena memperlihatkan kartun kontroversial yang menggambarkan Nabi Muhammad kepada murid-muridnya dalam salah satu kelasnya yang membahas tentang kebebasan berekspresi.
Namun, Macron memberikan penghargaan kepadanya dan mengatakan Prancis “tidak akan membuang kartun kami.”
Kartun berisi penghinaan kepada Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh Charlie Hebdo, majalah mingguan satir Prancis, juga diproyeksikan pada gedung-gedung di beberapa kota.
Beberapa negara Timur Tengah serta Turki, Iran dan Pakistan telah mengecam sikap Macron terhadap Muslim dan Islam. Presiden Recep Tayyip Erdogan juga mengatakan bahwa pemimpin Prancis itu membutuhkan “perawatan mental”.
“Prancis tidak dapat memuji kebajikan kebebasan berbicara di negara mereka sambil menghukum Muslim Prancis karena terlibat dalam kebebasan berbicara. Mereka juga tidak dapat mengklaim sebagai mercusuar kebebasan sambil menyerukan kediktatoran untuk melarang warga Muslim memboikot produk Prancis,” kata Awad. (rafa/arrahmah.com)