(Arrahmah.com) – Sejak kapan cadar dan atau jilbab disertai penutup wajah mulai dikenakan Muslimah Indonesia?
Seperti biasa setiap muncul polemik masalah cadar, salah satu pernyataan yang muncul adalah, “cadar bukan budaya Indonesia”. Atau “cadar budaya Arab”.
Memang fenomena cadar/niqab atau memakai jilbab lebar disertai penutup wajah dianggap baru di Indonesia. Mungkin baru muncul pada akhir 1980an atau awal dan pertengahan 90-an.
Benarkah cadar bukan bagian dari syariat Islam? Benarkah cadar merupakan sesuatu yang baru di Indonesia? Dalam catatan Buya Hamka, cadar atau jilbab dengan penutup wajah sudah dikenal di sebagian daerah di Indonesia sejak tahun 1920an. Buya menuliskan temuannya dalam Tasfsir Al-Azhar ketika menafisrkan Surat Al-Ahzab ayat 59.
Ketika penulis (Buya Hamka) datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam tahun 1926 penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangan yang memegang kain di muka sehingga hanya separuh yang terbuka bahkan hanya matanya saja.
Seketika penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya pada tahun 1934 perempuan perempuan yang berasal dari Selayar berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang di pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab persis seperti di Langkat itu pula.
Seketika penulis pergi ke Bima pada tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu pula.
Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 (40 tahun sudah berangkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya meskipun pakaian yang di dalam memakai rok modern.
Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan.
Gerakan Aisyiyah di tanah Jawa atas anjuran K. H. Ahmad Dahlan selain memakai Semar (selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, di bawah pula untuk menutupi kepala. Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada tahun 1924 (tiga tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimar penutup kepala dan dada itu, Aisyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanah air dalam pergerakan Islam. Almarhum Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali; muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah El yunusiyyah yaitu Rangkayo Rasuna Said tidak pernah lepas khimar (selendang) itu dari kepala beliau.
Menjadi adat istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji Lalu memakai khimar, selendang yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya di pasar dengan sanggul bergulung sehingga rambut lemas tidak kelihatan.
Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan perempuan modern yang mulai tertarik kembali kepada agama lalu pergi naik haji di Jakarta 1974 pernah mengadakan suatu mode show pergerakan peragaan pakaian peragaan pakaian di Bali room hotel Indonesia memperagakan pakaian modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan estetika.
Dalam ayat yang kita tafsirkan ini (QS.Al-Ahzab:59) jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh Alquran yang menjadi pokok yang dikehendaki Alquran ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Tuhan pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki. [] Sumber: Tafsir Al-Azhar, jilid 8, hlm. 5783-5784.
Sumber: wahdah.or.id
(*/Arrahmah.com)