PADANG (Arrahmah.com) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Gusrizal Gazahar, mengajukan surat pengunduran diri sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
Di perguruan tinggi tersebut Gusrizal, atau biasa dipanggil Buya Guzrizal, berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mengampu mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Dia mengungkapkan, alasan pengunduran dirinya tersebut lantaran berbeda prinsip dengan kebijakan yang diambil pihak kampus terkait pelarangan cadar di lingkungan akademik.
Buya Gusrizal mengatakan bahwa ia sudah berupaya untuk memberikan masukan terkait kebijakan pembatasan cadar. Namun, pendekatan yang dia lakukan dengan rektorat IAIN Bukittinggi tak membuahkan hasil. Buya Gusrizal mengaku heran, sesuatu yang halal dalam syariat Islam justru dilarang tanpa alasan yang logis.
“Sebagai seorang dosen dan Ketua MUI saya sudah memberikan pandangan terhadap cadar. Namun, sama sekali tidak dihiraukan. Sebagai Ketua MUI saya tidak nyaman. Saya tidak setuju ketika ada yang mengkaitkan cadar dengan paham radikalisme. Ini nuansa yang tidak baik, seharusnya sebagai intelektual Muslim mereka ikut meluruskan tuduhan seperti itu, bukan malah ikut-ikutan,” kata Gusrizal, Selasa (20/3/2018), lansir viva.co.id.
Melalui surat pengunduran dirinya itu, Buya Gusrizal berharap kampus IAIN Bukittinggi bisa lebih bijak dalam menyelesaikan polemik kebijakan bercadar. Bila surat ini disetujui kampus, maka Buya Gusrizal tidak lagi aktif sebagai dosen per April 2018 mendatang.
“Dalam pertimbangan awal pelarangan adalah radikalisme bisa menyusup melalui cadar. Itu yang sulit sekali saya terima,” katanya.
Sebelumnya, Gusrizal menilai bahwa kekhawatiran pihak kampus bahwa pemakaian cadar akan membatasi komunikasi antara dosen dan mahasiswa bisa dipatahkan. Menurutnya, pembinaan tidak menuntut seseorang harus melihat wajah mahasiswinya, kecuali bagi mereka yang gemar memandang wajah perempuan yang bukan mahramnya.
“Apakah teori pembinaan hari ini menuntut pandang-memandang seperti itu? Saya tidak tahu, apakah ini pernyataan yang keluar dari akal yang berisi ilmu atau akal yang dikuasai nafsu,” katanya.
Gusrizal menerangkan, paling tidak ada dua alasan mengapa cadar tidak bisa dilarang di kampus, apalagi di institusi yang mengusung agama Islam. Alasan pertama adalah penggunaan cadar adalah hak muslimah.
Sedangkan alasan kedua, pemakaian cadar adalah bagian dari pilihan menjalankan pandangan dan anjuran ulama. “Bercadar itu diridhai Rasulullah. Istri-istri beliau, sahabat perempuan semasa beliau, banyak yang mengenakan cadar. Kita umat Nabi Muhammad, tapi kok melarang bercadar. Di kampus Islami pula,” tandasnya.
Dia juga mengingatkan bahwa pandangan ulama terhadap penggunaan cadar berbeda-beda. Meski begitu, dia menilai bahwa khilafiah-nya bukan persoalan boleh atau tidaknya. Tapi, tentang tingkatan pensyariatannya. “Apakah wajib, sunat atau sebatas mubah,” pungkasnya, lansir Rol.
Diketahui, Hayati terpaksa harus non aktif dari semua kegiatan akademiknya. Semua akses yang terkait dengan fungsional akademiknya ditutup pihak kampus lantaran ia tetap bersikukuh mengenakan cadar di lingkungan kampus.
(ameera/arrahmah.com)