JAKARTA (Arrahmah.com) – Semakin banyaknya akun buzzer bayaran yang bertebaran di media sosial (medsos), membuat para pengguna medsos resah. Sebab, para buzzer sering menyebarkan hoaks yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan memunculkan sikap radikalisme.
Melihat fenomena hoaks yang semakin tak terkendali, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis mengatakan bahwa MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Melalui akun Twitter nya, @cholilnafis, menyebutkan besarnya dosa para buzzer yang suka menyebar kabar bohong, fitnah dan membully, “Hukumnya sama dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati,” tulisnya pada Kamis (11/2/2021).
Cholil juga mengungkapkan keheranannya mengapa buzzer semakin merajalela di media sosial, padahal MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait besarnya dosa orang yang menyebarkan fitnah.
Dalam cuitannya di Twitter tersebut, ia juga menyertakan link wawancara Youtube terkait hal ini. Menurutnya, saat ini masyarakat lebih sering berinteraksi dengan medsos, apalagi di saat pandemi seperti sekarang.
“Informasi lebih banyak di medsos daripada di media konvensional. Banyak masyarakat bertanya ke MUI maka dikeluarkan pada 13 Mei 2017. Pada saat itu menjawab keresahan masyarakat yang meminta kepastian, sekaligus ini bagian dari menjaga umat agar tetap lurus, tak tersesat, seenaknya ghibah (menggunjing),” katanya.
Lebih lanjut, Cholil menyebutkan bahwa fatwa tersebut bertujuan untuk menjaga negara agar paham-paham liberalisme dan radikalisme tidak menyebar dengan mudah melalui media sosial yang memang lebih mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Fatwa ini juga ditujukan untuk menjaga agama, bagaimana agama itu menjiwai kenegaraan kita, pemerintahan kita, dan kebangsaan kita, sekaligus untuk menjaga umat. Agama sebagai aspirasi dan juga inspirasi. Agama ikut terlibat dalam berbagai pola kehidupan karena kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” imbuhnya.
Cholil sangat menyayangkan tindakan buzzer yang sering menyebarkan fitnah, ghibah, bahkan hingga membunuh karakter seseorang.
“Tapi kalau yang disampaikan itu fitnah, ghibah dan lain-lain, apalagi untuk membunuh karakter orang. Orang kalau mengkritik bukan substansi kritiknya yang dikejar, tapi orangnya yang dibunuh karakternya,” katanya
Dia juga menyesalkan ketika para buzzer dengan mudah berbicara sarkas, membully dan lainnya sehingga bagi orang atau tokoh tertentu, memilih untuk tidak perlu menanggapi pernyataan para buzzer karena merasa tidak level untuk diajak berdebat.
“Di Al Quran itu disebutkan kita tidak perlu menggubris orang-orang yang tidak mengerti. Orang-orang yang jahil, usil, tapi itu menyebar, berkelompok dan mempengaruhi masyarakat sehingga membuat orang tak nyaman. Sebagian orang memilih daripada saya dimaki-maki, kita punya keluarga, anak, teman, orang belum tahu konteksnya, apalagi dipotong sehingga ada yang memilih untuk tidak berkomentar di publik daripada pasti dibully,” ungkapnya.
Menurutnya, persoalan buzzer ini harus menjadi catatan agar masyarakat Indonesia tidak mundur ke belakang, namun menjadi masyarakat yang unggul, berakhlak dan beradab. (rafa/arrahmah.com)