JAKARTA (Arrahmah.id) – Legalitas pembangunan ibukota negara (IKN) Nusantara berupa undang-undang (UU) 3/2022 kembali didaftarkan gabungan elemen masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materiil atau judicial review.
Gugatan tersebut didaftarkan oleh mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Trisno Rahardjo, Dahlia Warga Suku Paser Balik, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Zenzi Suhadi dari WALHI Eksekutif Nasional.
Mereka menamakan dirinya sebagai Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibukota Negara atau disingkat Argumen.
Kuasa hukum Argumen, Muhammad Arman menjelaskan, pihaknya mendaftarkan gugatan karena menilai UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan.
“Pemerintah dan DPR benar-benar telah menghancurkan tatanan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Arman, Sabtu (2/4/2022), lansir RMOL.
Di samping itu, Arman juga menyatakan bahwa pihaknya menganggap UU IKN sebagai produk regulasi yang super kilat dibuat pemerintah dan DPR RI, yakni selesai dalam waktu 17 hari.
Dengan begitu, ada kekurangan dari proses penyusunan regulasi yang cepat tersebut, yakni minimnya partisipasi publik.
Sehingga aliansi ini mendalilkan dalam permohonannya bhawa UU IKN bertentangan dengan UU 15/2019 perubahan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, Arman juga menyatakan bahwa pihaknya menilai UU IKN tidak punya kebermanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga.
Contohnya, menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan, sebab komunitas tidak pernah diajak bicara padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan ibukota negara.
Bahkan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi mendata alokasi wilayah yang telah ditetapkan pemerintah untuk kawasan IKN mencapai 256.142 hektar dimana di dalamnya juga terdapat kehidupan masyarakat adat.
“Tata kelola lingkungan dan hak atas tanah di Indonesia yang amburadul, menimbulkan bencana dan konflik karena kajian kelayakan suatu usaha senantiasa dilakukan untuk melegitimasi keputusan politik penguasa, bukan untuk melihat suatu usaha layak atau tidak. Begitu juga dengan pemindahan IKN ini,” kata Zenzi.
Sekjen Aman Rukka Sombolinggi menambahkan, minimnya partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dalam pembentukan UU IKN adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia.
Dia memandang, pembangunan IKN tanpa persetujuan (Free Prior Informed Consent-FPIC) dari Masyarakat Adat adalah pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN.
“Dan penegasan terhadap watak pemerintahan yang berkuasa hari ini sebagai pemerintah yang otoritarian sekaligus tunduk pada kepentingan para oligarki,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)