Washington (arrahmah) – Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush dan para pejabat seniornya dinilai telah membuat kebohongan publik sebanyak 935 kali soal ancaman Irak terhadap keamanan nasional Amerika.
Data itu terungkap berdasar hasil penelitian dua lembaga kajian jurnalistik AS, yaitu Pusat Integritas Publik dan Yayasan Independensi Jurnalisme.
Menurut penelitian kedua lembaga jurnalisme itu, 935 kebohongan itu dilakukan Bush dan pejabat pemerintahannya dalam pidato, briefing, dan wawancara selama 2001 hingga 2003.
Para pejabat yang disebut-sebut dalam studi itu adalah Wakil Presiden Dick Cheney, Condoleezza Rice (saat itu masih menjadi penasihat keamanan nasional), Donald H Rumsfeld (Menteri Pertahanan), Colin Powell (Menteri Luar Negeri), Paul Wolfowitz (Deputi Menteri Pertahanan), serta Ari Fleischer dan Scott McClellan (keduanya Juru Bicara Gedung Putih).
Studi itu menunjukkan Bush telah membuat 231 pernyataan bohong mengenai senjata pemusnah massal dan 28 pernyataan bohong tentang keterkaitan mantan Presiden Irak Saddam Hussein dengan Al Qaeda. Powell telah 244 kali berbohong mengenai senjata pemusnah massal Irak dan 10 kali kebohongan tentang hubungan Irak dengan Al Qaeda.
Pernyataan Bush dan para pejabat senior AS dinilai kedua lembaga itu adalah bagian dari kampanye sistematis yang secara efektif membentuk opini masyarakat. Opini publik tanpa dasar itu kemudian dijadikan dalih Bush untuk mengobarkan perang di Irak.
“Dampak kumulatif dari kebohongan-kebohongan itu sangat besar.” “Peliputan media begitu hiruk-pikuk selama beberapa bulan menjelang invasi terhadap Irak. Sebagian jurnalis dan organisasi media belakangan mengakui bahwa mereka tidak bersikap kritis selama melakukan liputan pada bulan-bulan pertama perang Irak,” demikian kesimpulan dua lembaga jurnalisme tersebut.
Sementara itu, Gedung Putih berang dengan hasil penelitian tersebut. Mereka memaparkan, pernyataan Bush dan para pejabat didasarkan pada konsensus hasil intelijen AS dan sekutunya.
“Saya menilai bahwa penelitian itu hanya untuk menghabiskan waktu,” tutur Juru Bicara Gedung Putih Dana Perino, Kamis (24/1/2008) dini hari WIB.
Dana menambahkan, penelitian jurnalistik itu tidak merujuk pada pernyataan yang dikeluarkan para pembuat kebijakan di AS, terutama Senat dan suara-suara hampir semua orang di dunia.
Suara atau pernyataan mereka merefleksikan apa yang disebut Dana sebagai konsensus bersama bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal.
“Sebagaimana yang tentu saja Anda semua ingat, kami adalah bagian dari sebuah koalisi besar negara-negara yang menentang kediktatoran Irak yang didasarkan pemahaman intelijen bersama soal kepemilikan senjata pemusnah massal,” tuturnya.
Dana tidak menyangkal bahwa setelah AS menyerang Irak, tidak ditemukan senjata pemusnah massal di Negeri 1001 Malam itu.
Namun, hampir semua penelitian kemudian tidak melihat reformasi yang dilakukan Gedung Putih agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. “Setelah tidak ada senjata pemusnah massal seperti yang disangka koalisi bersama intelijen AS dan sekutunya, Gedung Putih dan Presiden melakukan reformasi intelijen untuk memastikan hal ini tidak terjadi lagi,” tandasnya. [fad/sindo/arrahmah.com]