Oleh Buya Gusrizal Gazahar
Ketua MUI Sumbar
(Arrahmah.com) – Bila fatwa, khutbah, taushiyyah dan rekomendasi ulama sudah dipandang sebagai penyebab rusaknya kebhinnekaan, apa bedanya pernyataan seperti itu dengan sikap kaum musyrikin Makkah di masa jahiliyyah terhadap dakwah Rasulullah saw ???
Bagi yang masih belum mengalami kebutaan hati, coba fahami kalimat ‘Utbah Ibn Rabi’ah ketika meminta Rasulullah saw berhenti dari dakwah beliau:
قد أتيت قومك بأمر عظيم فرقت به جماعتهم
“Sesungguhnya engkau (Muhammad saw) telah membawa kepada kaummu suatu perkara sangat besar yang memecah belah persatuan mereka”.
Bila begini pemahaman Bhinneka Tunggal Ika yang hadir dalam pemikiran tuan-tuan para penyelenggara negara, terpaksa harus dibongkar pasang susunan Wawasan Nusantara yang dahulu pernah diterima.
Bhinneka Tunggal Ika adalah kemajemukan yang diakui eksistensinya dalam bingkai kesatuan bukanlah usaha untuk menghilangkan kemajemukan untuk mewujudkan persatuan.
Fatwa, khutbah, taushiyyah ulama adalah petunjuk yang diambil dari sumber ajaran Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk umat Islam bukan untuk umat lain.
Tugas tuan-tuan penyelenggara negara untuk menjamin agar pesan itu sampai dan nyaman diamalkan oleh kaum muslimin. Ini merupakan amanat undang-undang dasar!
Kelambatan dan kelalaian menyikapi lah yang menjadi penyebab resah dan gerahnya kaum Muslimin.
Bukan fatwa itu yang menjadi penyebab tapi penolakan dan kecemasan tuan-tuan lah yang menjadi pemicu keresahan !
Kalau fatwa yang dijadikan kambing hitam keresahan bahkan sampai menuduh sebagai pemicu rusaknya kebhinnekaan, apa bedanya tuan-tuan dengan ‘Utbah Ibn Rabi’ah pentolan kaum musyrikin Makkah yang menentang dakwah Rasulullah saw?
“Jawablah dengan sisa keimanan yang masih tertinggal di dalam hati tuan-tuan, jika masih ada !”
(*/arrahmah.com)