JAKARTA (Arrahmah.com) – Kamis, 16 Juli 2010, di Gramedia Grand Indonesia, Jakarta, diluncurkan dan dibedah buku berjudul “Temanku, Teroris?” Dipandu Tina Talisa, presenter TVOne, dihadirkan juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono, selaku pembedah buku. Sebagaimana disampaikan oleh penulisnya, Noor Hudai Ismail, buku ini diharapkan menjadi jembatan dan ajang “silaturahmi” bagi berbagai pihak yang memiliki cara pandang berbeda-beda. Namun, dapatkah buku ini menghapus stigma terorisme yang selalu ditujukan kepada Islam dan kaum Muslimin?
Dua Santri Ngruki Dengan Jalan Berbeda
Buku setebal 386 ini berkisah tentang perjalanan hidup dua santri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Santri pertama adalah Noor Huda, yang mendapat beasiswa di Universitas Saint Andrews Skotlandia dan pernah menjadi wartawan Washington Post. Santri kedua adalah kakak kelas sekaligus sahabat Huda, Fadlullah Hasan alias Mubarok yang menjadi mujahidin di Afganistan dan terlibat di Bom Bali I.
Di halaman 2 Mobarok, alias Utomo Pamungkas, alias Fadlullah Hasan menuturkan kesaksiannya:
“Saya adalah Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan alias Mubarok alias Amin. Veteran Perang Afghanistan, instruktur Moro Islamic Liberation Front di Mindanao, Filipina, dilibatkan dalam serangan bom Batal pada 2000 di Mojokerto, dilibatkan dalam serangan bom di rumah Duta Besar Filipina pada 2001, dan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002.
Saya adalah bagian dari organisasi pergerakan bawah tanah Jamaah Islamiyah. Saya Insya Allah, memegang teguh prinsip-prinsip hidup dalam Islam. Jihad adalah jalan perjuangan saya, mati syahid adalah tujuan saya. Saya terikat dalam baiat ‘baya’tuka ‘ala al-sam’i wa al-tha’ah fi al-‘usri wa al-yusri : ‘untuk mendengar dan taat dalam keadaan senang maupun susah, serta taat kepada pemimpin’.
Pesantren Al-Mukmin Ngruki adalah rahim yang mengandung saya. Sementara Afghanistan adalah bidan yang membantu persalinan kelahiran saya ; kelahiran kami, anak-anak yang kelak tumbuh sebagai tentara-tentara pejuang di jalan Allah.
Kisah-kisah berikut saya tuturkan sebagai kesaksian atas perjuangan kami. Kesaksian ini merupakan kisah perjalanan jihad saya. Semoga Allah Swt. meridhai perjuangan kaum mujahidin dalam memerangi kebatilan dan menjauhi segala larangan-Nya, semata untuk kemuliaan Allah Taala.
Sementara itu, dalam kata pengantarnya, Noor Huda menjelaskan tujuan ditulisnya buku tersebut:
Dengan niat yang baik, tibalah saatnya aku menyampaikan tujuan dari penulisan buku ini, yang tiada lain adalah hanya untuk memuliakan Allah Ta’ala. Kiranya Allah ridha dengan tirakat yang tengah kujalani dari awal hingga akhir nanti. Buku ini kupersembahkan kepada anak-anak yatim di seluruh dunia. Semangat penulisan dalam buku ini kupersembahkan kepada anak-anak yatim yang dilahirkan dari bom-bom bunuh diri. Semoga Allah senantiasa menyertai dan memberikan perlindungan kepada mereka. Aku juga berharap, dengan membaca buku ini, pembaca dapat memahami bahwa Pondok Pesantren Ngruki memang mengajarkan jihad, tetapi tak berarti terorisme ; pondok kami mengajarkan kritis, bukan berarti anarkis.
Dari sini kita bisa memahami bahwa penulis, Noor Huda, menganggap tindakan dan aksi jihad temannya, Mubarok. Alias Fadlullah Hasan, keliru dan salah kaprah. Noor Huda yang juga aktif di Yayasan Prasasti Perdamaian, lembaga yang fokus menempatkan kembali mantan terpidanan terorisme di masyarakat, menganggap kekeliruan tersebut sebagai kelemahan utama santri yang terjerumus ke jihad yang menerima semua ajaran begitu saja tanpa mencoba mengkritisi. Noor Huda mengatakan:
Padahal dalam Al-Quran ada perintah untuk memverifikasi setiap kabar yang kita terima.
Pada epilog buku tersebut penulis kembali menegaskan ;
Semoga tak ada lagi anak yatim yang terlahir dari aksi teror yang mengatasnamakan kepercayaan tertentu. Kututup malam dengan doa untuk mereka. Semoga mereka, para anak yatim yang lahir dari bom bunuh diri, baik yatim yang sesungguhnya maupun yatim secara social, tak menyimpan dendam dalam diri mereka dan menebarkan cinta kasih sebagai gantinya. Sebab merekalah yang akan meneruskan impian kita, orang-orang dewasa. Dunia mereka. Semoga.
Siapa Terorisme Sebenarnya ?
Pertanyaan itu sempat mencuat dan ditanyakan pada acara bedah buku “Temanku, Teroris?”. Karena sesungguhnya arti dan definisi terorisme sendiri sampai saat ini belum jelas dan menjadi stigma negara-negara Barat, khususnya Amerika yang dilabelkan kepada Islam dan kaum Muslimin.
Imam Samudra alias Abdul Aziz, terpidana Bom Bali I dalam memoarnya yang juga dijadikan buku oleh penerbit Jazera dengan judul “Aku Melawan Teroris”, menyiratkan dengan tegas bahwa dirinya adalah seorang mujahid bukan teroris. Bahkan dirinyalah yang melawan ‘teroris’ yakni Amerika dan sekutu-sekutunya!
Paridah Abas, istri dari Syekh Mukhlas alias Ali Ghufron juga terpidana Bom Bali I, menulis kisah hidupnya yang juga dibukukan dengan judul “Orang Bilang Ayahku Teroris”. Mungkin saja dalam waktu dekat akan bermunculan buku-buku sejenis dengan judul serupa, seperti “Kakakku Bukan Teroris”, “Saya Jurnalis Bukan Teroris, dan lain-lain. Intinya adalah sebuah penolakan stigma terorisme yang selama ini selalu disematkan kepada Islam dan kaum Muslimin.
Jadi, ini adalah masalah sudut pandang tentang terorisme. Kalaupun ada istilah terorisme tersebut dalam Islam, maka itu adalah terorisme yang terpuji (diperintahkan) bukan terorisme tercela (yang dilarang) Allah SWT. Dalam sesi tanya jawab dilontarkan QS Al Anfal ayat 60, sebagai landasan hukum dari mujahidin untuk melakukan aksi-aksi mereka.
Jika Noor Huda, penulis buku ini menjelaskan secara gamblang mengenai dampak nyata dari aksi-aksi terorisme, yakni munculnya anak-anak yatim dari korban maupun pelaku terorisme dan mengatakan :
Siapa yang mau peduli dengan anak-anak yatim ini?
Maka seharusnya juga ditanyakan kepadanya dan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini, sebuah pertanyaan serupa :
Siapa yang mau peduli dengan anak-anak yatim di Afghanistan, Iraq, Palestina, Chechnya, Kashmir, Somalia, Moro, Pattani, Ambon, Poso?
Faktanya, negara-negara seperti Amerika, dan sekutu-sekutunyalah, terutama Israel, yang saat ini paling banyak membuat dan memproduksi anak-anak yatim dari kalangan kaum Muslimin di negara-negara Islam seperti Afghanistan, Iraq, Palestina, Chechnya, Kashmir, Somalia, Moro, Patanni, Ambon, Poso, dan lainnya. Mengapa kalau kepada mereka, yakni Amerika dan sekutu-sekutunya, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa meraka adalah teroris? Mengapa tidak ada yang mengecam dan mengutuk mereka? Ini tentu tidak adil!
Jadi, ini semua memang tentang masalah persepsi yang berbeda. Persepsi yang dibangun di atas sebuah keyakinan hidup yang akhirnya menentukan perbedaan jalan hidup seseorang, sebagaimana dalam buku “Temanku, Teroris?” yang ditulis oleh Noor Huda.
Mubarok, alias Fadlullah Hasan, alias Utomo Pamungkas, asal Pondok Pesantren Ngruki, telah memilih jalan hidupnya dan dia bangga atasnya dan siap menanggung segala risikonya, dunia akhirat.
Sementara itu, dari pesantren yang sama, bahkan satu kamar, Noor Huda Ismail juga telah memilih jalan hidupnya dan bangga atasnya dan siap menanggung segala risikonya, dunia akhirat.
Dengan demikian, tetap saja buku “Temanku, Teroris?” karya Noor Huda ini tidak bisa atau belum bisa menghapus stigma terorisme yang secara sistematis diproduksi oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, serta para pengekornya kepada Islam dan kaum Muslimin!
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)