JAKARTA (Arrahmah.com) – Sabtu, (17/12) , terpidana perampokan Bank CIMB Niaga, Khairul Ghazali, meluncurkan buku terbarunya berjudul,“Mereka Bukan Thagut, Meluruskan Salah Paham tentang Thagut”. Acara ini diselenggarakan di Hotel Sahid, Jakarta dan dihadiri berbagai elemen seperti BNPT, Kepolisian, akademisi, maupun perwakilan dari berbagai ormas Islam.
Sejumlah pembicara yang mayoritas ustadz dan alim ulama sengaja dihadirkan dalam acara ini. Para pembicara itu diantaranya adalah Jafar Umar Thalib (mantan Panglima Laskar Jihad), Ustadz Abu Rusydan (Mantan Petinggi JI), Abdurrahman Ayub (Masjid As Sunah Bintaro), dan Profesor Muhammad Baharun (MUI).
Dalam paparannya, Khairul Ghazali mengatakan telah terjadi kesalahan makna thaghut selama ini. Ia mensinyalir kejadian kini menjadi sebab utama merebaknya paham terorisme radikal di Indonesia. Kata thaghut yang sejatinya adalah sebuah pembahasan panjang dalam khazanah ulama berubah menjadi faham takfir untuk melegalisasi tindak terorisme.
Penamaan judul buku “Mereka Bukan Thaghut” sengaja dipilih karena dilatar belakangi beberapa alasan. Selain telah disinggung dimuka, Khairul menyinggung bahwa makna Thaghut selama ini ditafsirkan secara bebas hingga mengkafirkan semua PNS.
“Bayangkan 5 juta PNS divonis kafir dan masuk ke dalam neraka. Lebih daripada itu ulama yang berdekatan dengan penguasa juga dianggap bagian dari thaghut,” jelas Khairul yang divonis karena menyembunyikan pelaku terorisme.
Khairul juga menyayangkan bahwa pemahaman tentang thaghut selama ini telah menjadi bahasa agitatif dalam rangka cuci otak para pelaku tindak terorisme.
“Artinya dengan buku ini saya ingin mengajak kita semua untuk kembali kepada pemahaman yang sesungguhnya tentang istilah thaghut,” tambahnya yang sempat mengatakan namanya didompleng para pelaku perampokan Bank CIMB Niaga beberapa waktu lalu.
Menurut Khairul, secara etimologi thoghut yang berarti thogho adalah perbuatan yang melampaui batas. Salah satu penjelasan tentang thaghut terdapat dalam surat Al A’laq ayat 6-7. “Kalla, innal insana layathghaa arra `aahustaghna“. Ketahuilah bahwa manusia itu benar-benar akan melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
“Jadi kita ini semua berpeluang menjadi thaghut. Kenapa kita sibuk menthaghutkan orang lain. Maka ketika marah dan hilang akal sejatinya kita juga seorang thaghut,” tukas Khairul yang menulis buku ini dari balik jeruji besi.
Ia mensyinyalir kesalahan mengidentifikasi makna inilah yang membuat banyak aktivis Islam keliru memaknai kata thaghut dan berdampak pada mutilasi pemahaman ajaran Islam, “Jadi bukan manusia saja yang dimutilasi, Islam pun bisa dimutilasi,” lanjutnya.
Dalam kesempatan selanjutnya, Jafar Umar Thalib memberikan kritik terhadap karya Khairul Ghazali. Menurutnya, Khairul terlalu terjebak pada pemaknaan istilah. Padahal makna thaghut tidak saja berkutat pada persoalan lughowi.
Mantan Panglima Laskar Jihad Ambon ini kemudian meminta Khairul untuk memisahkan antara thoghut dengan ghuluw. Sebab kedua istilah tersebut tidak saja mempunyai definisi tersendiri, akan tetapi juga memiliki derajat berbeda.
“Dalam istilah agama, thaghut itu berbeda dengan ghuluw. Tidaklah semua yang melampaui batas itu disamakan dengan thaghut,” ujarnya yang sempat mengaku bangga dengan ajaran Wahabi dan didengar oleh Ansyad Mbai yang membuka bedah buku tersebut.
Pada gilirannya, Jafar mendelegasikan makna thaghut yang dinukil dari pemikiran Ibnu Qayyim Al Jauzi, “Seperti dijelaskan oleh Ibnu Qayyim, thaghut ialah semua pihak yang karena oleh sebab dia, hamba Allah melanggar batas-batas Allah, baik dalam hal ma’bud (sesembahan) atau isme-isme diluar Islam,” bebernya.
Lalu jika berbeda dengan thaghut, apakah ghuluw itu sendiri? “Ghuluw lebih pantas disematkan kepada orang yang melanggar hukum Allah, tapi dia tidak mengajak membuat tandingan selain hukum Allah, makaoleh karena itu dia lebih pas dikatakan orang yang melampaui batas,” tandasnya.
Definisi itu, dirasa Jafar, lebih proporsional. Hal ini dikarenakan kedudukan thaghut yang jauh lebih jahat dari sekedar ghuluw.
Rupanya kritikan itu tidak hanya datang dari Ja’far, Ustadz Abu Rusydan juga menangkap sinyalemen yang sama menanggapi beberapa kekeliruan dalam buku terbitan Grafindo tersebut. Dalam analisanya, Khairul belum menjelaskan thaghut secara jelas dan terkesan simplisitik menanggapi perkara ini. Beberapa klasifikasi thaghut seperti menganggap hukum buatan manusia melebihi hukum buatan Allah belum diutarakan.
Ia justru khawatir buku ini malah mengantarkan umat kepada pemahaman yang salah tentang thaghut itu sendiri. Sebelumnya, Ustadz Abu Rusydan mengatakan bahwa perbedaan adalah satu fakta. Bahwa untuk menyeragamkan suatu pemikiran adalah suatu hal yang mustahil.
Terakhir Ustadz Abu Rusydan berpesan agar Khairul dan seluruh kalangan bersikap adil kepada Ustadz Aman yang sedikit banyak disinggung dalam buku ini.
“Ustadz Aman dan Ustadz Khairul adalah dua sahabat saya. Meski secara pemikiran saya lebih dekat dengan ustadz Aman,” pungkasnya (Eramuslim)