JAKARTA (Arrahmah.com) – Sikap Kejaksaan Agung yang melarang peredaran beberapa buku yang notabene berisi khazanah keilmuan Islam dinilai sebagai tindakan diskriminatif dan anti Islam. Pasalnya, buku-buku PKI dan buku-buku berisi tentang penodaan Islam malah dibiarkan beredar.
Isu pencekalan buku-buku karya intelektual muslim oleh Kejaksaan Agung RI akhir-akhir ini mendapatkan sorotan umat Islam. Banyak kalangan tokoh-tokoh Islam yang mengecam pelarangan tersebut sebagai kezaliman yang memundurkan bangsa ini ke zaman orde baru.
Menanggapi isu pencekalan tersebut IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) DKI Jakarta mengirimkan surat permohonan penjelasan mengenai pelarangan buku-buku Islam. Akhirnya Kejaksaan Agung mengirimkan surat penjelasan nomor B-1056/D.2/Dsp.2/10/2011 tertanggal 26 Oktober 2011 kepada pengurus IKAPI.
Dalam surat yang ditandatangani Jaksa Utama Madya, Hindiyana SH tersebut dijelaskan sejak terbitnya putusan MK nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010, maka Kejaksaan Agung tidak lagi berwenang mengeluarkan surat keputusan pelarangan buku, namun berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 pasal 30 ayat (3) huruf c, Kejaksaan Agung berwenang melakukan pengawasan terhadap barang cetakan yang beredar di Indonesia.
Dengan demikian, Hindayana menegaskan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah mengeluarkan Surat Pelarangan buku sebagaimana yang disebutkan oleh IKAPI DKI Jakarta.
Selanjutnya, jelas Hindayana, Kejagung melakukan tindakan pengamanan terhadap buku-buku yang perlu diwaspadai, sebagai tindak lanjut surat dari Kementerian Bidang POLHUKAM nomor R-100/Seg/Polhukam/5/2011 tanggal 26 Mei 2011 yang diterima Kejaksaan Agung RI perihal penyampaian daftar buku-buku yang perlu diwaspadai, untuk meneliti dan mengkaji buku-buku tersebut.
Menanggapi surat dari Kejagung RI tersebut, direktur An-Nasr Institute Munarman SH menilai tindakan Kejaksaan tersebut sebagai sikap diskriminatif. Pasalnya, buku-buku komunis dan buku-buku yang menghina agama tidak diawasi, justru buku-buku agama yang diawasi. Dengan fakta-fakta ini, Munarman mempertanyakan, apakah negara ini sedang dikuasai orang-orang ateis dan penghina agama.
“Negara ngawur ya begitu! Itu buku tentang penodaan agama seperti buku ‘Lubang Hitam Agama’ dan buku ‘Fiqih Lintas Agama’ sudah lama dilaporkan kok nggak ada tindakan pengawasan oleh Kejakgung? Begitu juga buku ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’ dan ‘Anak PKI Masuk Parlemen’, kok nggak diawasi oleh Kejakgung? Kenapa giliran buku-buku Islam malah diawasi, apa negara ini sudah dikuasai oleh orang-orang ateis dan penghina agama?” jelasnya seperti dikutip voa-islam.com, Senin (31/10/2011).
Munarman yang juga ketua DPP Front Pembela Islam (FPI) mengungkapkan bahwa FPI telah melaporkan empat judul buku secara resmi ke Kejaksaan Agung lantaran dinilai melanggar menodai agama dan makar terhadap negara.
Buku “Lubang Hitam Agama” dan “Fiqih Lintas Agama” yang jelas-jelas menghina agama, melanggar pasal 156a KUHP tentang tindak pidana penodaan agama. Sedangkan buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen” dinilai melanggar pasal 107a KUHP atas upaya makar terhadap negara.
“Coba bandingkan empat buku tadi. Buku itu sudah dilaporkan secara resmi oleh FPI ke Kejakgung, tapi sampai sekarang kok nggak diawasi juga? Padahal jelas itu buku melanggar pasal 156a KUHP dan 107a KUHP yang diancam lima tahun penjara ke atas,” ungkapnya.
Munarman menambahkan, jika negara berniat serius, seharusnya Kejakgung bisa melarang buku-buku yang telah dilaporkan FPI sebelum Undang-Undang nomor 4/PNPS/1963 dicabut MK pada bulan Oktober tahun 2010 lalu.
“Padahal laporan FPI itu sebelum PNPS 1963 itu dicabut, kalau negara ini memang serius jalankan! Kejakgung mestinya sebelum PNPS 1963 tentang pelarangan buku itu dicabut MK, sudah melarangnya sejak dulu, eh.. malah sekarang buku Islam diawasi. Jadi betul kata Ustadz Abu Bakar Ba’asyir negara ini diurus oleh gerombolan anti Islam,” pungkasnya. (voaI/arrahmah.com)