DAMASKUS (Arrahmah.id) — Buku-buku yang menceritakan penyiksaan di penjara Suriah atau teks-teks tentang teologi Islam sekarang dengan mudah dapat didapatkan di toko buku roko buku di Damaskus. Tidak ada lagi perdagangan buku rahasia setelah penggulingan penguasa Bashar al-Assad.
“Jika saya bertanya tentang buku (tertentu) dua bulan yang lalu, saya bisa menghilang atau berakhir di penjara,” kata mahasiswa Amr al-Laham (25), yang sedang melihat-lihat toko-toko di dekat Universitas Damaskus. dikutip dari The Strait Times (29/1/2025).
Dia akhirnya menemukan salinan ‘Al-Maabar’ (The Passage) karya penulis Suriah Hanan Asad, yang menceritakan konflik di Aleppo dari titik penyeberangan yang menghubungkan timur kota yang dikuasai kelompok perlawanan dengan barat yang dikuasai pemerintah.
“Sebelumnya, kami takut ditandai oleh dinas intelijen karena membeli karya-karya termasuk yang dianggap kiri atau dari gerakan Muslim Salafi,” kata Laham.
Sementara banyak yang mengatakan masa depan tidak pasti setelah jatuhnya Assad, warga Suriah untuk saat ini dapat bernapas lebih mudah, bebas dari aparat keamanan yang ada di mana-mana.
Sebelumnya sejumlah aparat keamanan Suriah kerap meneror penduduk, menyiksa dan membunuh lawan politik rezim.
Assad secara brutal menekan setiap perbedaan pendapat, dan ayahnya Hafez sebelum dia melakukan hal yang sama, terkenal menghancurkan pemberontakan yang dipimpin Ikhwanul Muslimin pada 1980-an.
Buku lain yang nampak diperdagangkan adalah ‘The Shell’ karya penulis Suriah Mustafa Khalifa, sebuah kisah tentang seorang ateis yang disalahartikan sebagai seorang Islamis radikal dan ditahan selama bertahun-tahun di dalam penjara Tadmur yang terkenal di Suriah.
Yang lainnya adalah ‘Rumah Bibi Saya’ ungkapan yang digunakan oleh orang Suriah untuk merujuk pada penjara karya penulis Irak Ahmed Khairi Alomari.
“Literatur penjara benar-benar dilarang”, kata seorang pemilik toko buku berusia lima puluhan, mengidentifikasi dirinya sebagai Abu Yamen.
“Sebelumnya, orang-orang bahkan tidak berani bertanya mereka tahu apa yang menanti mereka,” katanya kepada AFP.
Di tempat lain, pemilik sebuah penerbit terkenal mengatakan bahwa sejak 1980-an, dia telah berhenti mencetak semua karya politik kecuali beberapa (esai) yang sangat umum tentang pemikiran politik yang tidak berhubungan dengan wilayah atau negara tertentu.
“Meski begitu, dinas keamanan Assad biasa memanggil kami untuk menanyakan tentang pekerjaan kami dan penjualan kami siapa yang datang menemui kami, apa yang mereka beli, apa yang diminta orang”, katanya kepada AFP, meminta anonimitas.
Di rak-rak di pintu masuk toko bukunya di Damaskus, Abdel Rahman Suruji memajang karya-karya bersampul kulit yang dihiasi dengan kaligrafi emas Ibnu Qayyim al-Jawziyya, seorang ulama Muslim abad pertengahan dan ideolog Salafi yang penting.
Juga dipamerkan buku-buku karya Sayyed Qutb, seorang ulama dari Ikhwanul Muslimin.
“Sebelumnya semua buku ini dilarang. Kami menjualnya secara rahasia, hanya kepada mereka yang bisa kami percayai, siswa yang kami kenal, atau peneliti,” kata Suruji (62).
“Sekarang, buku-buku ini dalam permintaan tinggi,” katanya, menambahkan bahwa pelanggan barunya termasuk penduduk Damaskus dan warga Suriah yang telah kembali dari luar negeri atau berkunjung dari bekas benteng kelompok perlawanan di utara negara itu.
“Selama revolusi, kami takut mencari buku-buku tertentu. Kami tidak bisa memilikinya, kami biasa membacanya secara online,” kata Mustafa al-Kani (25), seorang mahasiswa yang datang untuk memeriksa harga koleksi karya Sayyed Qutb.
“Hanya menerbitkan kutipan dari Sayyed Qutb bisa membuat Anda dijebloskan ke penjara,” tambahnya. (hanoum/arrahmah.id)