JAKARTA (Arrahmah.com) – Pelarangan terhadap buku-buku keislaman yang dinilai pemerintah sebagai buku yang cenderung radikal dianggap juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar, karena ketidakjelasan apa yang dipersoalkan terhadap buku-buku Islam, sedangkan buku-buku porno yang jelas berbahaya tidak dilarang. Sehingga ketika ditanyakan kepada kejaksaan Agung, mereka tidak mampu menjelaskan dengan benar, oleh sebab itu mereka tidak melarang secara nasional.
“Sekarang ini pemerintah atau kejaksaan Agung sudah tidak punya dasar melakukan pelarangan,” kata Ismail.
Pelarangan tersebut dinilai Ismail diskriminatif dan tidak jelas, karena buku-buku yang dilarang semisal Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, seharusnya dirinci mana yang sebenarnya dianggap berbahaya, karena di dalam buku-buku tersebut malah lebih banyak yang bermanfaat dibanding yang dinilai berbahaya.
“Dari setiap halaman atau paragraf pasti ada yang tidak membahayakan, jadi mana yang membahayakan, masak Islam membahayakan?” ujarnya heran.
Tambahnya, pemerintah seharusnya fokus terhadap persoalan yang lebih mendasar ketika melihat apa-apa saja yang membahayakan negara. Karena, yang berbahaya itu dalam hal ideologi adalah kapitalisme dan liberalisme yang tidak sesuai dengan prikemanusiaan.
“Seharusnya, pemerintah straight to the point terhadap apa yang sebenarnya berbahaya,” tukas Ismail.
Lebih dari itu, yang berbahaya pula dalam kondisi saat ini adalah separatisme dan korupsi. Jadi, jika ingin dilarang menurut Ismail, buku-buku yang mengarah kepada separatisme dan korupsilah yang harus dilarang.
“Seharusnya pedang mereka mengarah kesana,” tutur Ismail.
Bukan malah mempersoalkan buku-buku keislaman yang jelas tidak berbahaya karena buku-buku Islam merujuk kepada Al-Qur’an.
“Buku-buku Islam itu berbahayanya apa? Jihad misalnya berbahaya. Loh, Jihad itu ada di Qur’an, berani mereka melarang?” pungkas Ismail. (bilal/arrahmah.com)