(Arrahmah.com) – Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani menyampaikan bukti nyata akan bodohnya orang-orang yang ghuluw. Sebelumnya, pada pembahasan bagian pertama, beliau telah menjelaskan keadaan di mana langkanya para ulama yang berkecimpung dalam dunia jihad, sementara perang terus mengikis jumlah para ulama dan penuntut ilmu.
Pada bagian kedua, beliau menyampaikan beberapa perkataan para ulama yang berkenaan dengan orang yang berperang di bawah panji kekafiran untuk membela orang-orang kafir, di mana perkataan-perkataan tersebut menjadi bukti akan bathilnya vonis kafir terhadap orang yang berperang di bawah panji sunnah atau panji Islam yang terdapat kekurangan di dalamnya.
Bukti ini juga membantah mereka yang mengkafirkan para pejuang, yang berperang di bawah panji-panji Islam, hanya karena sesuatu yang tidak jelas dan prasangka yang tidak bisa dibuktikan dengan hukum syariat.
Pada pembahasan bagian ketiga dan yang terakhir ini, Syaikh Al-Qahthani memberikan penjelasan mengenai kehormatan kaum muslimin dan darah mereka serta mengenai reputasi jihad terkait tindakan mujahidin yang harus dilakukan sesuai syariat.
Selain itu, beliau juga menyampaikan nasehat kepada setiap saudara mujahidin dimanapun berada berkaitan dengan urusan darah yang tidak ada yang boleh menumpahkannya walau hanya setetes kecuali ada dasar dari nash yang jelas dan terang. Berikut terjemahan lanjutan penjelasan Syaikh Al-Qahthani tersebut, yang dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Rabu (28/1/2015).
BUKTI NYATA AKAN BODOHNYA ORANG-ORANG YANG GHULUW
(Bagian Terakhir)
Oleh : Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani
بسم الله الرحمن الرحيم
Setelah kami menukil perkataan-perkataan di atas, kami ingin mengingatkan engkau akan kehormatan kaum muslimin dan darah mereka. Hendaknya engkau bertaqwa kepada Allah dalam berinteraksi dengan kaum muslimin; karena kami tidak berangkat berperang untuk menegakkan panji kelompok kami, golongan kami dan faksi kami; hendaknya kita semua bertaqwa kepada Allah. Syaikh Ath-Tharthusi berkata di dalam tulisan nasehat beliau kepada para mujahidin:
“Kami merasa terkejut setiap saat dengan adanya beberapa sikap, perbuatan dan tindakan yang salah serta memalukan yang mengatas namakan jihad dan mujahidin. Tindakan tersebut mengakibatkan tumpahnya darah orang-orang yang tak bersalah dan terampasnya kehormatan orang-orang yang diberikan keamanan tanpa alasan yang benar atau bukti.
Sehingga reputasi jihad serta mujahidin menjadi negatif, akibatnya semua orang memboikot jihad dan menganggap bahwa tujuan dari panggilan jihad adalah untuk melakukan tindakan atau perbuatan salah yang tidak bertanggung jawab dan tidak syari. Sehingga menjadi sulit bagi kita untuk terus mengumandangkan jihad seperti yang diajarkan oleh islam, yaitu jihad yang murni, jelas, transparan dan tanpa ada persepsi-persepsi serta pemahaman-pemahaman yang keliru di dalam otak mereka yang disebabkan oleh praktek-praktek semacam itu.
Karenanya kami merasa harus untuk memberikan nasehat, karena agama ini adalah nasehat. Kepada setiap saudara mujahid dimanapun dia berada, apapun bahasa dan kebangsaannya, yang telah bertekad untuk berjihad di jalan Allah dengan ikhlas.. ketahuilah wahai saudaraku mujahid, sesungguhnya urusan yang berkaitan dengan darah adalah urusan yang besar. Kehormatannya sangat urgen, tidak ada yang boleh menumpahkannya walau hanya setetes kecuali ada dasar dari nash yang jelas dan terang; maksudnya tidak boleh menerapkan asa praduga dalam membunuh atau dalam menangani urusan darah. Karena pembunuhan sama seperti vonis kafir, tidak boleh ada yang berani melakukannya kecuali ada dasar dari nash yang jelas – terbebas dari kontradiksi – dan meyakinkan, maka begitu pula dalam urusan membunuh. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَتَبَيَّنُواْ
‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, Maka telitilah..’ [An Nisa’: 94]
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di dalam sebuah hadits yang Muttafaq Alaihi:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
‘Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama’ah (murtad).’ [HR. Muslim No.3175].
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri menerangkan arti kata: ‘orang yang memisahkan diri dari jamaah’ sebagai orang yang murtad dari agama, hal ini seperti yang disebutkan di dalam sebuah riwayat shahih lainnya:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثٍ رَجُلٌ زَنَى وَهُوَ مُحْصَنٌ فَرُجِمَ أَوْ رَجُلٌ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ رَجُلٌ ارْتَدَّ بَعْدَ إِسْلَامِهِ
‘Tidaklah halal darah seorang muslim, kecuali pada salah satu dari tiga hal: seseorang yang berzina dan ia (telah menikah), maka ia harus dirajam. seseorang yang membunuh orang lain tanpa hak, atau seseorang yang murtad setelah ia memeluk Islam..’ [HR. Ibnu Majah No.2524].
Jadi beliau menafsirkan kata ‘orang yang memisahkan diri dari jamaah’ sebagai ‘murtad dari agama setelah masuk islam’, penafsiran yang mulia ini sekaligus membantah penakwilan dari orang-orang ghuluw yang mengartikan ‘orang yang memisahkan diri dari jamaah’ sebagai orang yang memisahkan diri dari jamaah mereka, meskipun orang tadi kemudian bergabung ke jamaah islam lainnya!
Di dalam hadits lain yang membantah orang-orang yang memperluas lingkup pembunuhan – tanpa berdasarkan ilmu dan dalil – dengan alasan ingin memberikan hukuman ta’zir![1] Padahal di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
‘Tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali kecuali dalam salah satu hukuman Allah (dalam masalah had).’[HR. Tirmidzi No.1383].
At Tirmidzi berkata di dalam Sunan-nya:
‘Para ulama berselisih dalam masalah ta’zir, dan riwayat yang paling baik tentang ta’zir adalah hadits ini.’
Coba bayangkan, apabila hukuman ta’zir tidak boleh melampaui sepuluh kali cambukan berdasarkan nashhadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu bagaimana bisa menurut pendapatmu hukumannya bisa melebihi had memotong leher dan anggota badan, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan!?
Apabila hal ini telah jelas bagimu, maka ketahuilah bahwa Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Dan membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah tanpa alasan yang benar merupakan salah satu dosa terbesar yang konsekuensinya adalah mendapatkan kemurkaan, laknat dan adzab yang pedih dari Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
‘Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.’[An Nisa’: 93].
Di dalam sebuah hadits shahih, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ…
‘Hendaklah kalian menghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan.’ Dikatakan kepada beliau, Apakah ketujuh dosa itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘Dosa menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq..’ [HR. Muslim No.129].
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
‘Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana kaum muslimin lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya.’ [HR. Muslim No.58].
Dan:
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ
‘Seorang mukmin adalah orang yang membuat orang lain merasa aman atas harta dan jiwa mereka. Dan seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan perbuatan dosa.’ [HR. Ibnu Majah No.3924].
Mafhum mukhalafah dari hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang membuat kaum muslimin tidak merasa aman atas harta dan jiwa mereka, dan tidak selamat dari bahaya lisan dan tangannya, maka ia bukanlah orang islam atau orang yang beriman.
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
‘Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya..’ [HR. Muslim No.4650].
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا رَوَاهُ أَبُو مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
‘Barangsiapa menghunuskan kepada kami, maka bukan golongan kami.’ [HR. Bukhari No.6366].
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Baari (13/24):
‘maksudnya adalah bukan golongan kami, atau bukan pengikut golongan kami, karena di antara hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah menolongnya dan berperang di sisinya, bukan menakutinya dengan menghunuskan senjata kepadanya karena ingin memerangi atau membunuhnya..’ hingga perkataan beliau:
‘Yang paling utama menurut kebanyakan para salaf adalah menyebutkan suatu kabar (hadits) tanpa ada pertentangan terhadap penafsirannya.’
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
لَقَتْلُ مُؤْمِنٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
‘..sungguh terbunuhnya seorang mukmin lebih besar disisi Allah daripada hilangnya dunia.’ [HR. An-Nasai No.3921].
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَغْفِرَهُ إِلَّا الرَّجُلُ يَمُوتُ كَافِرًا أَوْ الرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
‘Semua dosa akan diampuni oleh Allah kecuali seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan kafir atau seorang laki-laki yang membunuh mukmin lainnya dengan sengaja.’ [HR. Ahmad].
أَبى الله أنْ يَجْعَلَ لِقَاتِلِ المُؤمِنِ تَوْبَةً
‘Allah enggan menerima taubat seorang pembunuh orang yang beriman.’ [Shahih Al-Jami’].
لَنْ يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا
‘Seorang mukmin masih dalam kelonggaran agamanya selama dia tak menumpahkan darah haram tanpa alasan yang dihalalkan.’ [HR. Bukhari No.6355].
مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا
‘Barang siapa membunuh seseorang dari ahli dzimmah maka dia tidak akan mendapatkan bau Surga padahal baunya tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun.’ [HR. Nasai No.2138].
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً بِغَيْرِ حِلِّهَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ أَنْ يَشُمَّ رِيحَهَا
‘Barang siapa membunuh orang kafir mu’ahid tak pada waktu halalnya maka Allah mengharamkan baginya untuk mencium bau Surga.’ [HR. Nasai No.4667].
Saya katakan: apabila ini adalah keadaan orang yang membunuh seorang ahli dzimmah atau seorang kafir mu’ahid, lalu bagaimana halnya dengan orang yang membunuh kaum muslimin dan orang-orang mukmin yang hidup aman di rumah mereka, pasar mereka dan tempat kerja mereka?!
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ الْمَلائِكَةَ تَلْعَنُ أَحَدَكُمْ ، إِذَا أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ
‘Sesungguhnya malaikat melaknat salah seorang dari kalian jika ia memberi isyarat kepada saudaranya (untuk menakutinya) dengan sebatang besi meskipun orang yang ditakut-takuti itu adalah saudara kandung.’
Padahal itu hanya diniatkan untuk bercanda dan bermain-main saja, lalu bagaimana dengan orang yang menodongkan pistol, senapan, bom dan senjata-senjata mematikan lainnya dengan serius untuk menakut-nakuti kaum muslimin dan orang-orang yang beriman? Tidak diragukan lagi bahwa ini lebih pantas mendapatkan laknat, ancaman, pengusiran dari rahmat Allah.
Semua ayat Alquran dan hadits Nabi yang telah disebutkan di atas merupakan pelajaran, peringatan dan anjuran bagi setiap orang yang menodongkan senjatanya dengan mengatasnamakan jihad untuk bertaqwa kepada Allah. Sehingga ia bisa menjaga dirinya, senjatanya, umatnya, dan kaum muslimin dari kalangan rakyat sipil yang ada di sekitarnya. Ia tidak boleh menjadikan alasan ingin membunuh orang-orang kafir lantas ia juga membunuh wanita, anak-anak serta puluhan orang islam yang ada di rumah dan pasar mereka dalam keadaan aman. Karena sudah jelas bahwa membunuh seorang muslim tanpa alasan yang benar lebih besar di mata Allah dibandingkan hilangnya dunia secara keseluruhan. Bagaimana bisa engkau merasa senang menghilangkan dunia secara keseluruhan serta tindakan yang lebih besar darinya, yaitu membunuh orang yang melakukan kejahatan atau membunuh orang kafir?!!!”
Hingga perkataan beliau:
“Jika engkau menginginkan ganjaran dan pahala jihad, maka ketahuilah bahwa tidak ada jihad bagi siapa saja yang menyakiti seorang mukmin ketika ia berjihad, di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa sang komandan mujahidin dan imam para rasul, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ ضَيَّقَ مَنْزِلًا أَوْ قَطَعَ طَرِيْقًا أَوْ آذَى مُؤْمِنًا فَلَا جِهَادَ لَهُ
‘Siapa yang menyakiti seorang mukmin, maka tidak ada jihad baginya.’ [HR. Ahmad di shahihkan Al-Albani]
Lalu bagaimana denganmu, sedangkan engkau telah menyakiti dan menakuti puluhan, bahkan ratusan kaum muslimin dan orang-orang yang beriman – yang kalian tidak tahu kondisi mereka, atau bahkan mereka jauh lebih mulia dari pada dirimu – disebabkan bom yang engkau luncurkan secara sembrono dengan mengatasnamakan jihadmu yang palsu!…”
Beliau juga berkata:
“Engkau berjihad di jalan Allah untuk menjaga umat dari kekufuran dan kezhaliman thaghut, untuk mempertahankan kehormatan dan hak-hak rakyat, dan untuk meraih tujuan-tujuan syariat yang menjadi sebab diutusnya para Rasul dan Nabi serta disyariatkannya jihad.. dan bukan untuk melanggar kehormatan orang-orang yang hidup dengan aman, serta menebarkan ketakutan dan kerusakan, serta menghilangkan hak-hak para hamba Allah.”
Beliau melanjutkan:
“Biarkan saja orang-orang kafir yang nyawanya tidak ada nilainya itu – yaitu orang-orang yang tidak memiliki kekuatan dan pengaruh – serta orang-orang yang engkau ragukan kekafiran dan keadaannya, engkau seharusnya membunuh para dedengkot orang kafir, yaitu para thaghut pemerintahan yang terang-terangan memusuhi dan memerangi islam dan kaum muslimin.. apabila engkau tidak mampu untuk membunuh para dedengkot orang kafir dan para thaghut, maka janganlah terjerumus ke dalam hal yang dilarang, teguhkanlah hatimu, bersabarlah dan teruslah mengintai mereka. Ketahuilah bahwa urusan ini tidak akan beres kecuali jika dijalankan oleh rajulun makits (mujahid yang matang dan teguh hati, teliti dan tidak mudah terprovokasi dan diperdayai oleh musuh), orang yang banyak bersabar dan sedikit keinginannya.
Jangan sampai.. sekali lagi jangan sampai engkau menyibukkan dirimu dengan urusan yang belum jelas bagimu padahal sudah ada urusan yang jelas di hadapanmu. Karena menerapkan hukuman pembunuhan dan meletakkan pedang di leher orang islam yang suka bermaksiat merupakan kebiasaan ghulat khawarij dan anjing-anjing neraka sebagaimana yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ
‘…mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan para penyembah berhala.’ [HR. Bukhari No.3095].
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai saudaraku mujahid, janganlah mengacaukan jihad dan para mujahidin, dan ketahuilah bahwa sebelum engkau mengangkat senjata, engkau harus mempelajari bagaimana cara mengangkat senjata, siapa yang harus engkau todongkan senjatamu, kapan engkau menembakkan senjata, dimana engkau meletakkan senjata, dan kepada siapa senjata harus disembunyikan.. jadi sebagaimana engkau telah diperintahkan, engkau harus mengambil pedoman dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, engkau juga diperintahkan untuk mengadopsi tata cara jihad dan membunuh musuh dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam serta apa saja yang berkaitan dengannya, mulai dari hukum-hukumnya sampai fiqhnya, tanpa ada sedikitpun pelanggaran walaupun hanya sedikit,
مَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
‘…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah…’ [Al Hasyr: 7]
Biarkan saja perkataan para penguasa kafir dan sekuler seperti Mau Tse Tung, Guevara dan Castro mengenai dirimu, karena mereka semua adalah thaghut yang tidak akan mendatangkan apapun kecuali keburukan, dan kami akan senantiasa mendoakanmu agar dijauhi dari segala keburukan.”
Saya katakan: Maha Suci Allah, lihatlah perkataan para ulama yang mencari jihad namun mereka tidak hanya berdiri di pinggir arena saja; karena mereka adalah bagian dari mujahidin yang menyuarakan kalimat kebenaran dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela.
Kami ingin menambahkan satu bait lagi di dalam syair ini; Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi berkata:
Adapun para mukhalif yang menciptakan ancaman terhadap para mujahidin; di antara mereka adalah jamaah-jamaah ghuluw dan ifrath yang mencela ahlul haq karena sikap mereka yang netral, bahkan mereka mengkafirkan ahlul haq karenanya, bahkan bisa saja mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan mereka karena hal itu. Mereka menyingkirkan ahlul haq dan menyibukannya dengan konflik-konflik antar sesama yang sepele dan tak bermanfaat. Sedangkan orang yang berakal tidak akan tersingkir karena ulah mereka dan tidak akan terganggu dengan sikap gaduh mereka.
Ibnu Jarir dan yang lainnya telah meriwayatkan bahwa seorang lelaki Khawarij memanggil Ali Radhiyallahu Anhu ketika beliau tengah melaksanakan shalat fajar, dia berkata:
وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:” Jika kamu mepersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az Zumar: 65]
Maka Ali Radhiyallahu Anhu menjawabnya sedang ia dalam shalat.
فَٱصۡبِرۡ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ وَلَا يَسۡتَخِفَّنَّكَ ٱلَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ ٦٠
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu mengelisahkan kamu” [Ar Ruum: 60].” [sampai di sini perkataan beliau, silahkan kaji di kitab Waqfaat Ma’a Tsamarat Al-Jihad: 126]
Syaikh Al-Maqdisi – semoga Allah segera membebaskan beliau – juga berkata:
Waspada terhadap berbagai kekeliruan yang banyak terjadi di dalam masalah vonis kafir:
- Tidak membedakan antara vonis kafir muthlaq dengan vonis kafir mu’ayyan atau antara kufur nau’ dengan kufur ‘ain.
- Vonis kafir berdasarkan kaidah “hukum asal pada manusia adalah kafir” karena negeri ini adalah negeri kafir.
- Tidak membolehkan shalat bermakmum di belakang orang muslim yang tidak diketahui keadaannya hingga diketahui aqidahnya.
- Vonis kafir karena sekedar memuji orang-orang kafir atau mendoakan sebagian mereka tanpa rincian.
- Mengkafirkan orang yang tidak membai’at imam tertentu.
- Pembatasan firqah najiyah hanya pada kumpulan, jamaah atau partai atau kelompok tertentu di antara umum kaum muslimin.
- Vonis kafir berdasarkan nash-nash mengenai vonis kafir yang muhtamil dilalat (mengandung banyak makna) dan bukan qath’i (pasti).
- Vonis kafir berdasarkan ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatan yang mengandung banyak makna tanpa memandang maksud orang yang mengucapkannya atau yang melakukannya.
- Tidak membedakan antara syi’ar-syi’ar kekafiran dan sebab-sebabnya yang nampak jelas, dengan sarana-sarana penghantar atau tanda-tandanya yang tidak cukup untuk memastikan vonis kafir dengan sendirinya.
- Vonis kafir dengan syubhat dan praduga tanpa ada klarifikasi serta tidak memperhatikan jalur pembuktian yang syar’i, dan mengharuskan hukum kafir walaupun si tertuduh mengelak, ada dua peringatan:
- Disyaratkan harus ada kejelasan yang sempurna dalam vonis kafir tanpa ada tahdzir.
- Harus menghukumi dengan cermat.
- Penggunaan kaidah siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir tanpa ada rincian.
- Vonis kafir berdasarkan konsekuensi dari ucapan (lazim qaul).
- Vonis kafir terhadap orang yang mati dalam keadaan berdosa dan ia belum bertaubat
- Gegabah dan tidak membedakan antara vonis kafir terhadap orang yang memiliki ashlu al iman (pokok atau dasar keimanan) atau pembatalnya. Dengan vonis kafir terhadap orang yang memiliki al-iman al-wajib dan al-iman al-mustahab[2], ada 5 peringatan penting dalam poin ini:
- Sesungguhnya vonis kafir hanya ditujukan kepada cabang-cabang keimanan yang tampak, yang mana itu merupakan asasnya.
- Kebanyakan nash yang konteksnya ancaman mengandung pembatal ashlu al-iman, atau pembatal pokok-pokok iman yang wajib, sehingga harus ada penyaringan.
- Seringkali maksud para ulama terhadap ungkapan: “menafikan seluruh keimanan” adalah menafikanal-iman al-wajib, bukan al-iman al-mustahab.
- Batasan dibolehkannya vonis kafir tidak harus menunggu adanya pembatal ashlu al-iman, akan tetapi cukup dengan adanya dosa yang menghilangkan al-iman al-wajib.
- Harus dibedakan antara al-iman al-muthlaq (Iman yang mutlak) dengan muthlaqul iman (kemutlakan iman), dan at-tauhid al-muthlaq (tauhid yang mutlak) dengan muthlaqut tauhid (kemutlakan tauhid).
- Tidak membedakan antara al-iman al-haqiqiy dengan al-iman al-hukmiy
- Tidak membedakan antara loyalitas (terhadap orang kafir) yang menyebabkan kekufuran dengan interaksi yang baik terhadap orang kafir (yang mubah).
- Mencampur adukkan antara loyalitas yang menyebabkan kekufuran dengan mudahanah yang diharamkan atau mudarah yang disyariatkan
- Mencapur adukkan antara loyalitas yang menyebabkan kekufuran dengan taqiyyah yang dibolehkan
- Vonis kafir dengan klaim bahwa diam terhadap para penguasa memastikan ridha (setuju) akan kekafiran mereka, dan tidak mempertimbangkan kondisi istidl’af (lemah).
- Melontarkan hukum takfir dan konsekuensinya terhadap para istri dan anak aparat syirik dan undang-undang atau yang lainnya dari kalangan murtaddin serta tidak mempertimbangkan kondisi istidl’af (lemah).
- Tidak membedakan dalam konsekuensi takfir antara kafir mumtani’ dengan kafir maqduur ‘alaih.
- Menkafirkan setiap orang yang bekerja di dinas pemerintah kafir tanpa rincian
- Mengkafirkan setiap orang yang meminta tolong kepada thagut atau ansharnya atau mengadu ke mahkamahnya saat tidak ada payung penguasa islam tanpa rincian.
- Tidak membedakan antara mengikuti aturan administrasi (tata tertib) dan merujuk kepadanya dengan merujuk hukum kepada undang-undang kafir
- tidak membedakan antara al-hukmu bi ghairi maa anzalallah dengan sekedar meninggalkan sebagian hukum allah sesekali pada kasus tertentu sebagai maksiat.
- Mengkafirkan semua orang yang ikut serta di dalam pemilihan umum (nyoblos) tanpa rincian
- Tidak mengudzur dengan sebab kebodohan di dalam masalah yang samar (khafiyyah) dan yang lainnya.
- Mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi ijma tanpa rincian.
- Tidak membedakan antara kufur riddah dengan kufur takwil serta menyamakan antara keduanya.
- Tidak membedakan antara bid’ah mukaffirah dengan maksiat dan bid’ah dalam furu’
- Mengkafirkan setiap orang yang tidak mengkafirkan para thaghut dengan klaim bahwa dia belum kufur kepada thaghut.
- Tidak membedakan dalam asbaabut takfir antara celaan terhadap dien dengan celaan terhadap orangnya.
- Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi karena sekedar intima’ mereka kepada jama’ah-jama’ah irja [Risalah Tsalatsiniyyah karangan Syaikh Al Maqdisi – semoga Allah segera membebaskan beliau –, silahkan kaji Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyyah Fi At-Tahdzir Min Al-Ghuluw Fi At-Takfir: 488-491.]
Saya katakan: seluruh peringatan Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi di atas telah dilanggar oleh Jamaah Daulah dan para pendukung mereka, saya sendiri sudah berdialog dengan salah seorang pendukung Daulah yang dianggap sebagai ahli ilmu mereka. Yang saya dapati dari dirinya adalah pemikirannya sama dengan pemikiran Jamaah Daulah, maka saya nasehatkan dirinya untuk merujuk kembali Ats-Tsalatsiniyyah dan Ju’nah Al-Muthayyibin karangan Syaikh Abu Qatadah, semoga kemauannya untuk mengkaji kembali dua buku karangan dua syaikh tersebut akan memberikan manfaat kepadanya, atau minimal ia menyadari keadilan dari buku tersebut.
Syaikh Al-Maqdisi – semoga Allah segera membebaskan beliau – berkata di dalam risalah beliau, Waqafaat Ma’a Tsamarat Al Jihad:
“Saudara-saudara kami, kami ingatkan kalian dengan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِي عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لَا يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي بِذِي عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي وفي رواية وَلَسْتُ مِنْهُ
“Dan barangsiapa keluar dari ummatku lalu (menyerang) ummatku dan membunuh orang yang baik maupun yang fajir, dan tak memperdulikan orang mukminnya serta tak pernah mengindahkan janji yang telah dibuatnya, maka dia tak termasuk dari golonganku.” Dalam riwayat lain disebutkan; “Dan saya bukan dari golongannya.” [HR. Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah.]
Apa faedah yang didapatkan mujahid dari jihadnya bila ia malah masuk dalam ancaman hadits ini dan ia dicakup oleh sikap keberlepasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya dan dari jihadnya.
Takutlah kepada Allah… takutlah kepada Allah dalam hak kaum muslimin, kehormatan mereka dan darah mereka. Takutlah kepada Allah… takutlah kepada Allah dalam hal jihad dan hasil-hasilnya.
Apa kalian tidak mengetahui bahwa siapa yang menggali sumur di tengah jalan kaum muslimin dan tempat lalu-lalang mereka kemudian orang muslim mati terperosok ke dalamnya maka ia wajib menunaikan kaffarat dan diyat ditunaikan oleh ‘aqilah-nya (ahli warisnya). Dan disamakan dengan sumur setiap lobang atau sebab kerusakan. Hal itu ditegaskan oleh sejumlah ahli fiqh pada penjelasan mereka terhadap hadits (tentang):
الْعَجْمَاءُ جَرْحُهَا جُبَارٌ وَالْبِئْرُ جُبَارٌ
“Perusakan yang dilakukan hewan ternak tidak ada ganti rugi, sumur (kebinasaan karenanya) tidak ada ganti rugi.” [HR. Bukhari dan yang lainnya]
Mereka menjelaskan bahwa kebinasaan (karena sebab) sumur yang tidak wajib diyat dan kafarat atas pemiliknya adalah sumur yang ia gali di tanah pemiliknya atau di tanah mati (tak bertuan) atau di pedalaman yang jauh dari jalan kaum muslimin.
Asy-Syafi’i berkata:
‘Orang yang meletakkan batu di tanah bukan miliknya adalah memikul tanggung jawab.’
Bahkan mereka menegaskan bahwa orang yang memasukkan hewan di jalan kaum muslimin lalu ia merubah alur jalan semestinya sehingga menginjak orang, maka sesungguhnya ia memikul ganti rugi. Sebagian mereka menegaskan bahwa siapa yang membiarkan (tidak peduli terhadap) perawatan tembok rumahnya kemudian tembok itu roboh menimpa orang muslim sehingga meningal, maka ia menanggung ganti rugi. Begitu juga orang yang mengeluarkan sesuatu dari batas rumahnya, seperti kayu atau yang lainnya, kemudian menimpa orang, maka ia memikul ganti rugi. Bahkan sebagian mereka menetapkan ganti rugi terhadap orang yang berwudhu lalu dia membuang air di jalan kaum muslimin, kemudian orang muslim lewat dan tergelincir dengan sebabnya.
Sesungguhnya ini adalah perihal darah kaum muslimin, bukan perkara main-main. Wajib kalian ketahui wahai saudara-saudara kami… bahwa darah orang muslim itu mahal dan kehormatannya sangat agung, serta penumpahan darah kaum muslimin itu adalah bahaya yang amat besar. Sedangkan membiarkan tidak membunuh seribu orang kafir –sebagaimana yang ditegaskan ulama kita– adalah lebih ringan daripada menumpahkan segelas kecil darah orang muslim secara sengaja.
Sungguh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengumumkan pada umat di tanah haram pada bulan haram di hari haji akbar seraya mengatakan:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini hingga hari kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikannya?. Mereka menjawab: Ya, sudah. Kemudian Beliau melanjutkan: Ya Allah, saksikanlah. Maka hendaklah yang menyaksikan menyampaikannya kepada yang tak hadir, karena betapa banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti dari pada orang yang mendengar. Dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku, (janganlah) kalian saling memukul tengkuk kalian satu sama lain (saling membunuh).” [HR. Bukhari No.1625].” [Waqfaat Ma’a Tsamrat Al Jihad: 5-6]
Maka saya katakan: bagaimana dengan orang yang mengkafirkan orang muslim yang berjihad di jalan Allah dan menghalalkan darah dan hartanya serta memperlakukannya layaknya orang murtad? Cukuplah Allah sebagai pelindung kami, dan Ia adalah sebaik-baik pelindung, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali.
Akhir kata, segala puji bagi Allah rabb semesta alam, tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang zhalim, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Disusun oleh:
Abu Mariyah Al-Qahthani
Senin 24 Rabi’ul Awwal 1435 H
Dari Bumi Ribath Syam.
Note:
[1] Pengertian Ta’zir secara syari adalah: Hukuman yang tidak ditetapkan ketentuannya secara syar’i, baik terkait hak Allah atau hak adami, umumnya berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukum hudud atau kaffarah.
[2] Al iman al wajib yaitu tambahan dari ashlul iman yang berupa berbuat kewajiban atau meninggalkan yang haram, sedangkan al iman al mustahab yaitu tambahan dari al-iman al-wajib yang berupa berbuat amalan-amalan yang sunah dan mustahab serta meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubuhat.
(aliakram/arrahmah.com)