(Arrahmah.com) – Ibnu lshaq berkata bahwa Yahya bin Urwah bin Az-Zubair berkata kepadaku dari ayahnya yang berkata,“Orang yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan terang-terangan di Makkah setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu. Pada suatu hari, sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkumpul. Mereka berkata, ‘Demi Allah, orang-orang Quraisy belum pernah mendengar Al-Qur’an dengan terang-terangan. Siapakah yang berani memperdengarkannya kepada mereka?
Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Saya!’ Mereka berkata, ‘Kami mengkhawatirkan keselamatanmu. Kami inginkan orang yang mempunyai keluarga yang dapat melindunginya dari kaum tersebut jika mereka bertindak jahat.’
Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Biarkan saya, karena Allah akan melindungiku.
Kemudian Abdullah bin Mas’ud pergi ke Maqam pada saat Dhuha sewaktu orang-orang Quraisy sedang berada di balai pertemuan mereka. Abdullah bin Mas’ud berdiri di Maqam tersebut, lalu membaca dengan suara keras,
‘Bismillahi Ar-Rahmaani Ar-Rahim. Ar-Rahman. Allama Al-Qur an.’
Abdullah bin Mas’ud melanjutkan bacaannya, sedang orang-orang Quraisy merenungkannya. Sebagian dan mereka berkata, ‘Apa yang dikatakan anak Ummu Abd ini?’
Sebagian dari mereka berkata, ‘Dia sedang membaca sebagian yang dibawa Muhammad.’
Mereka bangkit menujuu Abdullah bin Mas’ud kemudian memukuli wajahnya, namun Abdulla bin Mas’ud tetap membaca surat tersebut sampai ayat tertentu.
Setelah itu, Abdullah bin Mas’ud pergi menemui sahabat-sahabatnya dengan wajah terluka. Mereka berkata kepadanya, ‘Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu.’
Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Musuh-musuh Allah itu tidak lebih rendah dariku sejak sekarang. Jika kalian mau, besok pagi aku akan melakukan hal yang sama.’ Mereka berkata, ‘Tidak. Engkau sudah cukup. Engkau telah memperdengarkan kepada mereka yang tidak mereka sukai’.” (sy42-Ibnu Hisyam 1: 273)
Tendangan, pukulan, dan pengeroyokan yang dilakukan kafir Quraisy, jika kita melihat penggalan perkataan beliau ‘Musuh-musuh Allah itu tidak lebih rendah dariku sejak sekarang. Jika kalian mau, besok pagi aku akan melakukan hal yang sama.’ Maka bisa disimpulkan bahwa seolah-olah apa yang beliau alami tidak ada apa-apanya dibanding dengan keberanian beliau untuk mengopinikan Islam ditengah-tengah kafir Quraisy sehingga apa yang akan menimpanya,hidup dan matinya sudah dipasrahkan diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala., dengan harapan Allah senang terhadapnya, Allah ridho terhadapnya, tidak lain semata –mata untuk menyenangkan Allah, Rabb-nya.
Itulah sikap yang harus dicontoh bagi para pengemban dakwah, hambatan,rintangan dan kesulitan tidak menyurutkan tekad dalam dakwah, tapi justru menjadi pelecut semangat untuk menggelorakan dakwah untuk mencapai kemenangan; semata-mata agar Allah sayang dengan kita, cinta dengan kita dan ridho dengan kita.
Eko Susanto, Kediri
(*/arrahmah.com)