SIDOARJO (Arrahmah.com) – Banyak orang yakin bahwa bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah karena ulah manusia, bukan bencana alam. Bukti baru yang ditemukan mendukung pendapat tersebut.
Lumpur Lapindo sebagaimana diamati penduduk setempat, muncul pertama kali tanggal 29 Mei 2006 pada pukul 5 pagi. Jaraknya sekitar 500 kaki dari lubang eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas. Sejak itu 100.000 ton lumpur panas telah dikeluarkan dari perut bumi, jumlah yang cukup untuk memenuhi 60 kolam renang standar olimpiade, dan hingga kini terus mengalir. Bukti ilmiah menunjukkan, ulah manusia adalah penyebab keluarnya lumpur panas tersebut.
“Bencana itu disebabkan karena penarikan tali bor dan mata bor keluar dari lubang, ketika lubang tidak dalam keadaan stabil,” kata Richard Davies, Direktur Durham Energy Institute dan penulis sebuah karya ilmiah di jurnal Marine and Petroleum Geology, dalam sebuah rilis pers. “(Hal tersebut) memicu ‘tendangan’ besar pada sumur, di mana di sana ada sebuah arus besar air dan gas yang berasal dari jajaran bebatuan di sekitarnya yang tidak bisa dikendalikan.”
Lumpur gunung berapi dalam tanah bisa keluar dengan dua cara. Retakan baru pada bebatuan yang menutupi kandungan lumpur bisa menjadi jalan keluar, jika lumpur mendapat tekanan. Atau lewat celah dan retakan yang terbentuk akibat terjadinya gempa.
Menurut Davies, hentakan yang berasal dari penarikan tali dan mata bor itulah yang menyebabkan bebatuan penutup lumpur menjadi retak, sehingga lumpur yang bertekanan itu pun memancar deras ke permukaan.
Tim peneliti Davies mengungkap bukti dari drilling log yang dilakukan oleh Lapindo Brantas. Perusahaan itu berupaya untuk menekan lumpur ke sumur-sumur pengeboran mereka guna menghentikan semburan.
“Upaya ini cukup berhasil, dan semburan lumpur panas perlahan berkurang,” kata Davies.
“Fakta semburan menjadi berkurang, membuktikan bahwa lubang galian terhubung dengan gunung api (kawah), pada saat terjadi semburan,” kata Davies kepada majalah online Wired (11/2).
Tulisan ilmiah yang disusun Davies dan kawan-kawan merupakan tanggapan atas sebuah artikel Lapindo Brantas yang dimuat pada jurnal yang sama. Pihak Lapindo mengklaim, peristiwa gempa bumi dua hari sebelumnya yang berjarak 175 mil dari pusat semburan lumpur, adalah penyebab terjadinya bencana tersebut.
Menurut pakar geologi Michael Manga, rekan Davies dari Universitas California, kebenaran hipotesa yang menyebut gempa bumi Yogya sebagai penyebab, kemungkinannya sangat kecil.
“Butuh kekuatan 1.000 kali lipat untuk menyebabkan semburan,” kata Manga.
Gempa yang dimaksud adalah gempa berkekuatan 5,9 skala Richter (6,2 menurut US Geological Survey) yang mengguncang Yogyakarta pada 27 Mei 2006 pukul 05.55 WIB selama 57 detik.
Salah satu tulisan Manga mengenai kemungkinan terjadi semburan lumpur akibat gempa dikutip dalam tulisan Lapindo Brantas.
Namun Manga mencatat, berdasarkan contoh-contoh historis yang dimiliki ilmuwan, apa yang diklaim oleh Lapindo tidak mungkin terjadi. “Oleh karena itu saya menulis satu halaman tulisan ilmiah (tahun 2007) yang menyebutkan (gempa Yogja) tidak mungkin menjadi sebab semburan lumpur,” katanya.
Ia mengatakan, beberapa tahun sebelum gempa Yogya ada gempa yang lebih besar dan jaraknya lebih dekat, tapi tidak menyebabkan lumpur menyembur.
Sebagian pakar mencapai kesimpulan yang sama dengan Davies dan kawan-kawan, sebagian lain masih ragu.
Octavian Catuneanu, editor jurnal yang memuat tulisan Davies dan Lapindo, yang juga pakar geologi di Universitas Alberta mengatakan, “Dalam geologi, adakalanya (yang penting) bukan soal benar atau salah, tapi soal masuk akal atau tidak masuk akal.”
“Lucunya, terkadang sekumpulan data yang sama bisa diinterpretasikan oleh orang berbeda dengan cara yang berbeda, ini yang menyebabkan terjadinya argumentasi dan kontroversi,” kata Catuneanu.
Manga yakin para ahli geologi di Lapindo tidak mungkin menulis sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan. Terlebih bila dinyatakan semburan lumpur adalah akibat kesalahan manusia, maka perusahaan keluarga Bakrie itu harus menanggung ganti rugi yang sangat besar jumlahnya. “Perusahaan pengeboran itu tidak bisa mengatakan hal yang berbeda, bukan?” kata Manga.
Hingga berita itu ditulis Wired (11/2), mereka belum berhasil menghubungi Lapindo Brantas untuk dimintai komentar. (hdytlh/arrahmah.com)