Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Bela Islam AMK
Sejahtera adalah kondisi dimana rakyat dapat mengecap kehidupan yang aman, adil dan serba cukup. Kebalikan dari sejahtera adalah kondisi kemiskinan dimana dewasa ini seolah erat mendekap banyak dari rakyat negeri ini. Tak tanggung-tanggung data menyebut bahwa kemiskinan yang menyelimuti negeri subur dengan kekayaan alam melimpah ini sebesar 26,36 juta orang alias 9,57% (data per September 2022, BPS). Bahkan disebut-sebut akhir-akhir ini kemiskinan yang menjangkiti penduduk Indonesia hingga pada taraf ekstrem.
Kondisi tersebut tentu menjadi PR besar bagi siapapun penguasa yang memegang kendali negeri ini. Beragam upaya telah dilakukan. Satu di antaranya dengan meluncurkan sistem bantuan permodalan yang digadang-gadang dapat menurunkan angka kemiskinan.
Sebagaimana dikutip dari media KOMPAS (27/5/2023) bahwa PT Permodalan Nasional Madani (PNM) melalui Direktur Utamanya, Arief Mulyadi menyebutkan dapat membantu negara dalam program penurunan angka kemiskinan ekstrem. Keoptimisannya didasarkan atas fakta bahwa sebanyak 47% penduduk miskin di negeri ini yang dapat terentaskan dari kondisi tersebut banyak di antaranya yang terkategori penerima bantuan modal PNM.
Optimistis berikutnya adalah bahwa pihak PNM telah terintegrasi dengan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayan (Kemenko PMK) untuk mengetahui masyarakat mana saja yang membutuhkan bantuan permodalan usaha.
Upaya jalur PNM ini dimaksudkan untuk mendukung target Presiden Joko Widodo menuntaskan penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024. Lebih jauh bahwa gerak PNM ini turut menyokong target dunia melalui agenda Sustainable Development Goals (SDGs) terbebas kemiskinan ekstrem di tahun 2030.
Apa Itu PNM?
PNM atau PT Permodalan Nasional Madani (Persero) adalah perusahaan milik negara yang didirikan untuk pengembangan, pemeliharaan, dan memajukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Peraturan OJK (POJK) Nomor 16/POJK.05/2019 menyebutkan, asas pembentukan lembaga keuangan non-bank ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan dalam rangka Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
Produk dan Jasa yang dikeluarkan PNM dalam mendukung UMKM dan koperasi terdapat 4 jenis. Pertama ULaMM (Unit Layanan Modal Mikro), dibentuk tahun 2008 berupa pinjaman modal secara langsung bagi per-orangan atau bidang usaha. Kedua ULaMM Syariah yang berjalan berdasarkan prinsip hukum Islam dari fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Ketiga PNM Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) yang diluncurkan tahun 2016. Permodalannya dikhususkan bagi perempuan prasejahtera pelaku usaha ultra mikro. Keempat, PNM Mekaar Syariah.
Tak Hanya Butuh Modal
Ketika dikatakan bahwa upaya pemerintah dengan peluncuran PNM untuk turut menuntaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia tentu butuh dikaji ulang. Faktanya rakyat bukan sekadar butuh modal untuk memulai dan menjalankan usahanya. Lebih dari itu, rakyat butuh support secara totalitas dari negara. Berupa dukungan sistem yang memberi jaminan kesejahteraan secara paripurna bagi mereka.
Dalam persoalan UMKM, jika ditelusuri lebih mendalam kita akan didapati betapa persoalan mereka itu bukan hanya di urusan permodalan saja. Tak sedikit dari para pelaku usaha, terlebih the new comer mesti berhadapan dengan ganasnya dunia usaha di era kapitalistik kini. Ada banyak faktor yang masih menjadi medan buas dan butuh untuk disolusikan oleh semua pihak terlebih negara agar masyarakat dalam hal ini para pelaku UMKM dapat tegak berdiri menjalani usahanya. Di antaranya:
Pertama, UMKM dihadapkan dengan kompetitor bisnis raksasa. Bukan rahasia lagi bahwa negeri ini menganut prinsip pasar bebas. Dengannya maka arus produk barang maupun jasa dari dan ke luar negeri itu teramat bebasnya. Masyarakat dalam hal ini pelaku UMKM dipersilakan untuk berhadap-hadapan dengan pelaku bisnis raksasa yakni mereka yang berkapital besar. Dalihnya biarlah UMKM dididik untuk bermental baja dengan kebijakan negara menyodorkan kompetitor raksasa baik skala lokal hingga global. Apa yang lantas terjadi? Pelaku UMKM ibarat atlet pelari pemula berlomba dengan atlet skala dunia. Bisa dibayangkan bukan betapa tidak berimbangnya?!
Kedua, adanya serbuan produk impor. Sangat disayangkan betapa kompetisi yang sangat tidak sebanding di atas diperparah dengan pemberian fasilitas kebijakan untuk keleluasaan bagi masuknya arus barang dan jasa dari luar negeri. Serbuan produk impor dengan spesifikasi yang jauh lebih ‘menjual’ dan harga murah pun akhirnya berseliweran di antara produk yang dihasilkan UMKM anak bangsa dengan permodalan dan kemampuan bisnis ala kadarnya. Sungguh persaingan dunia usaha yang sangat tidak sehat.
Ketiga, kebijakan pajak yang mengikat bagi bisnis yang dikembangkan di negeri ini tak terkecuali UMKM. Belumlah usahanya berkembang dan maju, kewajiban pajak sudah menjadi faktor pengeluaran bisnis yang tak sedikit dikeluhkan para pelaku UMKM.
Keempat, UMKM sebagai penyelenggara usaha juga terikat dengan peraturan ketenagakerjaan, salah satunya terkait kewajiban mendaftarkan pekerjanya pada BPJS. Perusahaan dalam hal ini wajib membayari sebanyak 4% dari jumlah gaji karyawannya, di samping memotong 1% gaji karyawan untuk kewajiban jaminan kesehatan berbasis asuransi BPJS yang diterapkan di negeri ini (www.online-pajak.com). Jika tidak demikian maka berdasarkan Pasal 17 UU No 24 Tahun 2011 perusahaan akan dikenai sanksi berupa teguran tertulis, denda, atau tidak mendapat pelayanan publik. Ini tentu sangat memberatkan.
Kelima, bahwa untuk memajukan UMKM dewasa ini, mereka didorong dapat memasarkan produknya secara digital memanfaatkan teknologi yang ada. Namun sekali lagi ketidak-adilan itu masih dirasakan UMKM. Mereka dipaksa merasa puas menjadi user market place dengan syarat dan ketentuan yang sangat mencekik. Dimana pada gilirannya keuntungan yang didapatkan jauh lebih minim jika dibanding pemilik market place tersebut.
Dan masih banyak lagi faktor lainnya yang turut menyumbang buruknya iklim usaha bagi UMKM. Tak heran meski negara kerap menarasikan bahwa UMKM adalah penyumbang PDB besar negeri ini, tetapi dukungan total untuk kemajuan mereka tak juga diberikan. Maka tak sedikit dari UMKM bernasib miris. Kalau tidak gulung tikar, mereka seolah hidup segan mati pun tak mau. Atau jikapun beberapa ada yang mampu bertahan, tapi tetap tak mampu mengepakkan sayap menuju puncak tertinggi perusahaan besar mengalahkan kompetitor bisnis raksasa di sekitarnya.
Apalagi ketika kita sadari betapa tidak semua rakyat negeri ini menjadi pelaku usaha (UMKM). Mereka pun adalah bagian dari rakyat yang butuh diurusi terkait kesejahteraannya. Di antara mereka tak sedikit yang termasuk penyumbang angka kemiskinan ekstrem di negara kita.
Kapitalisme Penyubur Kemiskinan
Medan ganas usaha yang harus dilalui oleh para pelaku UMKM sesungguhnya buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang menjadikan negara berlepas tangan dari pengurusan terhadap urusan rakyat kepada mekanisme pasar global. Rakyat dibiarkan mengarungi usahanya dengan terengah-engah minim proteksi dari negara. Sementara negara hanya memosisikan diri sebagai pembuat regulasi yang arah kebijakannya justru lebih memihak korporasi berkapital raksasa dibanding rakyat.
Kapitalisme pula yang menjadikan negara melimpahkan pemenuhan semua kebutuhan rakyat pada tangan-tangan korporat. Sementara harta kekayaan alam pun tak diberikan hasilnya kepada rakyat secara utuh karena telah dikapling-kapling untuk tuan-tuan pengusaha bermodal besar bahkan asing. Kondisi ini memunculkan kemiskinan ekstrem tak juga mampu diselesaikan secara tuntas sampai kapanpun jika negeri ini tak melepaskan diri dari jerat sistem kapitalisme.
Islam Mempersembahkan Kesejahteraan
Islam sebagai sistem kehidupan memiliki aturan yang paripurna. Ia berasal dari Zat yang Maha Pencipta, tentu kebenaran dan kemampuannya dalam menyolusikan setiap persoalan kehidupan tidak diragukan lagi. Tak terkecuali urusan menyejahterakan rakyat dalam suatu negara secara menyeluruh.
Hal di atas pernah dibuktikan selama kurang lebih 14 abad lamanya, ketika Islam diterapkan sempurna oleh institusi negara yang diwariskan oleh Baginda Nabi saw. bernama Daulah Khilafah. Kesejahteraan hakiki dapat terwujud secara adil. Tinta sejarah mencatatnya.
Islam mewasiatkan pengurusan semua urusan rakyat ada di tangan penguasa. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menjadi pelecut bagi siapapun yang mengambil peran sebagai penguasa untuk memberikan pengurusan terbaiknya bagi setiap rakyatnya. Karena nasib rakyat yang diurusnya sebanding dengan nasibnya kelak di yaumil akhir. “Setiap pemimpin adalah raain (pengurus) rakyatnya. Dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.”
Maka jaminan kesejahteraan setiap individu rakyat adalah tanggung jawab negara. Urusan sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan adalah goal yang akan terus diurusi siang malam hanya dengan mekanisme syariat. Negara akan membuka lapangan kerja yang luas bagi siapapun laki-laki dewasa agar mampu menafkahi dan mencukupi kebutuhan keluarganya.
Harta kekayaan alam akan dikelola negara untuk hasilnya diserahkan bagi kemaslahatan rakyat secara umum dan totalitas. Pajak pun tak akan diberlakukan karena negara telah tercukupi dengan pemasukan melimpah dari sumber-sumber halal semisal sumber daya alam (SDA) dan lainnya. Maka urusan kesehatan, pendidikan, dan keamanan akan mendapat porsi pembiayaan dari kas negara agar dapat diakses oleh semua kalangan rakyat secara murah bahkan gratis. Kemiskinan tentu akan dapat ditekan bahkan dienyahkan dengan semua mekanisme ini.
Dalam bentangan sejarah di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ditemukan satu pun rakyat miskin dan berhak untuk disalurkan zakat baginya. Semua terjadi karena negara berkomitmen penuh menyejahterakan rakyatnya, tentu dengan pelaksanaan yang dipandu syariat.
Negara pun akan memberikan iklim usaha kondusif bagi siapapun warga yang hendak berbisnis. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara semua berorientasi demi terurusnya rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Tak akan didapati perusahaan raksasa terlebih asing dapat memonopoli bisnis yang ada di wilayah kekuasaan negara. Iklim usaha yang sehat pun dapat dirasakan sebagai berkah menerapkan aturan dari Sang Penguasa jagat raya.
Betapa mudah dan berkah hidup dalam naungan negara yang memberlakukan Islam secara totalitas (kafah). Namun betapa sulitnya mewujudkan hal demikian jika hawa nafsu dan keserakahan masih mendominasi pemikiran umat dengan terus mendekap sistem kufur kapitalisme. Wallahualam bissawab.