Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd*
(Arrahmah.com) – Kota Bekasi memasuki masa PSBB Proporsional. Nama lain dari pelonggaran PSBB. Pemerintah kota mengijinkan sejumlah usaha pariwisata dan tempat hiburan umum beroperasi. Jenis usaha pariwisata yang diperbolehkan beroperasi mulai dari kelab malam, kafe, panti pijat, biliar, hingga bioskop.
Pelaku usaha pariwisata dan tempat hiburan wajib mematuhi protokol kesehatan jika ingin beroperasi kembali (tempo.co, 05/06/2020). Ketentuan itu tercantum dalam Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Bekasi Nomor 556/598-SET.COVID-19 yang diteken Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada Kamis (4/6/2020).
Semestinya Wali Kota Bekasi bisa belajar dari Korea Selatan. Dilansir dari beritasatu.com (10/05/2020), ibu kota Korea Selatan Seoul menutup kembali bar dan kelab malam setelah terjadi lonjakan kasus baru. Ledakan kasus ini memicu terjadinya gelombang kedua.
Korsel telah menjadi model global penanganan virus. Kurva melandai membuat Korsel menuju new normal. Namun setelah sekolah dibuka, terjadi klaster baru. Sama juga dengan kelab malam, ada klaster infeksi baru di Itaewon, wilayah yang terkenal dengan hiburan malamnya.
Tidakkah semestinya Bekasi bahkan Indonesia belajar dari Korsel? Padahal di Indonesia, kurva infeksi covid masih terus menanjak. Tak ada tanda-tanda mendatar bahkan melandai. Apa yang menjadi dalil kengototan para penguasa negeri ini untuk membuka semua usaha pariwisata dan hiburan?
Ekonomi merupakan satu-satunya alasan untuk membuka semua usaha pariwisata dan hiburan di tengah infeksi covid yang belum terkendali. Hal ini membuat kita bisa mengambil beberapa kesimpulan atas sikap pemerintah.
Pertama, penguasa tidak menyayangi rakyat. Demi pemasukan negara berupa pajak, rakyat dikorbankan. Benar, negeri ini dibangun dari sektor pajak. Sektor pariwisata dan hiburan mendapat perhatian khusus. Saat awal kemunculan Corona, pemerintah justru menggelontorkan uang sebesar Rp72 miliar untuk influencer mempromosikan pariwisata negeri.
Pajak tempat hiburan malam dan pariwisata jelas lebih diperlukan penguasa ruwabidhoh. Daripada mengurus rakyat, apalagi di masa pandemi dan berstatus PSBB. Padahal tak ada juga jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dari pemerintah selama PSBB. Ada BLT, ada Bansos, namun tidak menjangkau semua rakyat, dan besarannya jauh dari rasa manusiawi.
Kedua, di mata penguasa rakyat hanya objek. Bahkan dianggap beban, sebagaimana pernyataan seorang politikus: negara tak mungkin terus menerus membiayai rakyatnya. Jadi, bullshit dengan jargon “suara rakyat adalah suara tuhan”. Atau “Kami bekerja untuk rakyat”. Atau “Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Buktinya, rakyat minta jaminan kesehatan, diberi iuran BPJS yang mencekik. Rakyat ingin tempat tinggal yang layak, malah diterbitkan iuran Tapera sebagai dalil memalak rakyat. Rakyat mau lockdown, dijawab dengan PSBB. Rakyat menolak RUU Omnibus Law, pembahasannya masih dilanjutkan. Rakyat disambangi menjelang pemilu, selebihnya rakyat diperas dan dizalimi demi melanggengkan kekuasaannya dan perselingkuhannya dengan para kapital.
Ketiga, penguasa lupa bahwa dia manusia. Dia lupa bahwa Allah Swt yang menciptakan dan mengatur hidupnya. Dia lupa bahwa dirinya manusia, makhluk ciptaan Allah. Dia lupa hakikat dirinya.
Orang yang lupa akan hakikat diri, cenderung berbuat sesukanya. Karena kehidupan abadi telah tertutup oleh kehidupan yang fana. Akhirat ambyar gegara ngejar dunia. Seenak udelnya membuat aturan hidup dan mencampakkan aturan Allah.
Kelab malam jelas nyata kemaksiatannya. Sangat terlihat pelanggaran syariat Allah. Mulai dari membuka aurat, minum-minuman khamr atau narkoba, ikhtilath, khalwat, gaul bebas hingga berzina. Semua aktivitas di kelab malam telah melanggar larangan Allah. Pelanggaran atas syariat Allah akan mengundang kemurkaan dari Allah.
Corona, makhluk yang tak kasat mata ini telah Allah kirimkan sebagai peringatan bagi seluruh manusia. Semestinya bisa mengambil hikmah dengan mengubah gaya hidup secara permanen. Tak hanya 3 bulan menutup kelab malam dan sejenisnya, tapi selamanya.
Namun, ketika penguasa lupa hakikat dirinya, ia tak lagi mampu mengambil hikmah setiap musibah yang datang. Hatinya menjadi beku, matanya buta, dan telinganya tuli dari peringatan Allah. Sebab ketika dia membuat aturan hidup sendiri dan mengabaikan Allah, disaat itulah dia telah menjadikan dirinya sebagai tuhan baru. Telat, Fir’aun lebih dulu dan lebih hebat. Dan tidakkah mereka melihat bagaimana kesudahan Fir’aun?
Ketiga simpulan ini merupakan ciri penguasa di sistem kapitalisme. Sistem yang hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi seluruh manusia juga alam semesta. Sebagaimana firman Allah: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS. Ar-Ruum:41).
Maka agar kita terhindar dari kerusakan yang semakin parah, apalagi dengan wacana kelab malam dibuka kembali, menjadi urgen untuk kita kembali ke jalan yang benar. Yaitu jalan yang Allah ridhoi, dengan menerapkan syariat Islam kaffah.
Penerapan Islam kaffah akan melahirkan penguasa yang beriman dan bertakwa. Yang mencintai rakyatnya karena Allah, yang menjaga jiwa rakyat atas dasar tanggung jawab sebagai pemimpin. Dan yang memiliki rasa khauf akan akhirat dan menihilkan kecintaannya pada dunia, sehingga takkan sanggup berbuat maksiat pada Allah dengan bertindak zalim pada rakyat. Wallahu a’lam []
*) Praktisi Pendidikan
(ameera/arrahmah.com)