(Arrahmah.id) – Sebelum tersebarnya percetakan di ribuan masjid di seluruh dunia, kegiatan penulisan ulang buku dilakukan di perpustakaan yang disebut maktaba atau hizanatu al-masahif. Ada tradisi di kalangan ulama untuk menyumbangkan manuskrip karya mereka ke perpustakaan di masjid dan madrasah, dan orang kaya memesan dan menyumbangkan salinan Al-Quran atau buku-buku terkenal kepada mereka.
Awal penulisan ulang teks-teks umat Islam dilakukan pada masa hidup Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam. Para Sahabat menuliskan ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan, begitu pula para juru tulis Nabi shalallahu alayhi wa sallam. Belakangan, catatan-catatan ini menjadi dasar untuk menyusun daftar Al-Quran (Mushaf).
Penulisan ulang dalam dua abad pertama Hijriah sangat penting untuk pelestarian hadits. Qari (pembaca) membacakan hadits dalam sebuah pertemuan, dan juru tulis menuliskannya. Beberapa ahli hadits memiliki juru tulis yang tahu cara menulis dengan cepat. Para pembelajar hadits, setelah menulis teks, harus membaca catatan mereka di depan guru untuk menghilangkan kesalahan ejaan. Bacaan ini disebut mukabalya.
Ada orang di dunia Islam yang mencari nafkah dengan menulis ulang buku. Mereka yang melakukannya dengan sukses memiliki penghasilan yang bagus. Pekerjaan ini dianggap cukup penting, bahkan para cendekiawan, seperti ahli filologi dan spesialis tata bahasa Arab (nahwu) Al-Sukkari dan ahli bahasa terkenal Al-Jauhari, terlibat di dalamnya. Tetapi karena mereka sangat teliti dalam menulis ulang buku, mereka tidak terlalu produktif.
Menulis ulang dianggap tidak hanya sebagai latihan praktis, tetapi juga sebagai tindakan yang religius. Ahli-ahli Taurat percaya bahwa menulis ulang Al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat akan membawa mereka lebih dekat kepada Allah, dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban kepada-Nya atas kesalahan dan menulis ulang buku-buku yang tidak berguna.
Seiring waktu, seperangkat aturan dibentuk yang harus diikuti oleh juru tulis. Pertama-tama, kegiatan ini membutuhkan ijazah – menerima “ijazah” dari seorang mentor. Mereka yang tidak memiliki ijazah tidak dapat membubuhkan tanda tangannya di akhir buku, yang dengan sendirinya merupakan fenomena tersendiri. Untuk memisahkannya dari teks utama, tanda tangan semacam itu dibuat dalam bentuk segitiga dengan garis yang semakin mengecil.
Ini berisi kata “tamma”(selesai), doa, dan kemudian informasi tentang juru tulis – “fakir”, “hakir” lalu diikuti dengan nama, tanggal penyelesaian pekerjaan, tempat pelaksanaannya, serta informasi tentang naskah dari mana teks itu disalin. Juru tulis dapat menunjukkan mazhab, negara, informasi tentang mentornya. Jika teks yang ditulis ulang itu adalah Al-Quran, maka ditunjukkan penulisan ulangnya seperti apa. Tanggal biasanya ditunjukkan dalam Hijriah, tetapi dapat dikurangi menjadi dua digit. Singkatan juga digunakan untuk menunjukkan bulan, nama juru tulis dan kata lainnya. Dalam beberapa kasus, juru tulis menggunakan abjad (sistem notasi angka menggunakan huruf Arab) atau sengaja mengubah tanda tangan menjadi teka-teki. Misalnya, juru tulis Turki Kemalpashazade terkenal akan hal ini. (zarahamala/arrahmah.id)