(Arrahmah.com) – Kita sering salah menyikapi apa-apa yang menjadi milik kita. Tak sedikit orang menumpuk hartanya di bank, investasi saham, membeli tanah, rumah, mobil dan lain sebagainya.
Apakah benar itu milik kita yang sebenarnya??? Untuk menjawabnya marilah kita belajar dari wawancara dengan Ibu Ella yang sangat sederhana yang disarikan Komunitas Akar Pohon (KAP) dari sebuah acara televisi swasta.
Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya mengumpullkan sampah plastik dari kemasan. Cuma untuk memperolehnya, dia harus memungutnya di sungai. Wanita paruh baya, kurus, dengan rambutnya diikat ke belakang dan banyak warna putihnya itu berumur 54 tahun.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Ada apa ya Pak?” tanya Ibu Ela.
“Saya dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar, boleh Bu…?” Pewawancara menjelaskan, dan mengunakan ‘Tabloid An Nuur’ sebagai ‘penyamaran’.
“Oh.. boleh, silahkan masuk.”
Ibu Ela, masuk lewat pintu belakang. Pewawancara menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya menyala, dan pintu depan pun dibuka.
“Silahkan masuk…”
Pewawancara masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. “Berhemat,” katanya.
“Sebentar ya Pak, saya ambil air minum dulu” kata Ibu Ela.
Yang dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan di atasnya ada sebuah panci yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.
“Iya Bu.. ngga usah repot-repot.” Kata pewawancara, merasa tidak enak.
Kami pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’.
Ibu Ela ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastik dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika pewawancara bertanya tentang aktivitasnya selain mencari plastik, Bu Ela menjawab ringkas.
“Mengaji…” katanya
“Hari apa aja Bu…?” Tanya pewawancara.
“Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu…” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani Ibunya yang dirawat di rumahnya.
Oh.. jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu, biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela.
Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.
Pewawancara bertanya lagi,
“Paling jauh pengajiannya dimana Bu?”
“Di dekat terminal Bubulak, ada mesjid taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir; ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.
“Kesana naik mobil dong..?” tanya saya.
“Saya jalan kaki” kata Ibu Ela
“Kok jalan kaki…?” tanya saya penasaran.
Penghasilan Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Pewawancara ingin tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.
“Iya.. mas, saya jalan kaki dari sini. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan kaki, khan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…” Ibu Ela menjelaskan.
“Maksudnya, uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke pak Ustadz?” Pewawancara melongo. Kan Ibu ngga punya uang, gumamnya dalam hati.
“Iya, yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah.” Kata Ibu Ela, datar.
“Kenapa Bu, kok dikasihin?” Pewawancara masih bengong.
“Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat, dicatet sama Allah…. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela menjelaskan, kedengarannya jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.
“Dzig! Saya seperti ditonjok Cris John. Telak! Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya Merinding!” gumam pewawancara.
“Ibu Ela tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu,” lanjutnya menggumam.
Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majlis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak?
‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Pewawancara pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat, saya akan menemui Ibu Ela kembali, mungkin minggu depan.
Pewawancara itu sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’. Sesuai misinya, ia sudah menemukan kekuatan dibalik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.
Minggu depannya, pewawancara datang kembali ke Ibu Ela. Kali ini bersama dengan tim kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat. Namanya Mr. EM (Easy Money). Anda pasti bisa menebak itu acara stasiun TV apa.
Dari acara itu, Allah taqdirkan Ibu Ela mendapatkan ganti dari Rp 2.000 yang disedekahkannya secara dengan Rp 10 juta dari uang kaget. Entah berapa yang Allah akan ganti di akherat kelak.
Ibu Ela membeli beras, kulkas, makanan, dan lain-lain untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan Allah untuk rumah indahnya di akherat kelak…. Allohumma.(adibahasan/komunitasakarpohon/arrahmah.com)