Oleh: Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Brutalisme di kalangan kepolisian dan TNI sekarang nampaknya sudah jadi kebiasaan dalam menyelesaikan pertikaian, baik antara aparat keamanan sendiri maupun antara aparat keamanan dan warga sipil. Bahkan barbarisme Densus 88 terhadap tersangka teroris pun sudah tidak bisa dibendung. Kedigdayaan hukum maupun HAM di negeri ini hanya omongkosong. Kesantunan seperti sering digemborkan Presiden SBY hanyalah retorika murahan.
Namun yang patut disesalkan, adanya upaya merusak citra Islam melalui media massa, dengan menggunakan istilah-istilah bernuansa Islam untuk perbuatan yang melanggar syari’at Islam. Seperti sapi berjenggot sebagai kiasan bagi tersangka koruptor dari parpol bermerk Islam. Begitupun jubah, cadar, jilbab dllnya.
Kasus penyerangan ke LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, 22 Maret 2013 malam, sebagai aksi balas dendam terhadap pelaku pembunuhan anggota Kopasus Grup II Kandang Menjangan Sertu Santosa yang mengakibatkan 4 orang terpidana tewas. Terhadap para penyerang, media massa, televisi, menggunakan istilah “pria bercadar.” Mengapa tidak menggunakan pria bertopeng, sehingga asosiasi orang tidak negatif pada cadar yang biasa dipakai oleh sebagian wanita muslimah?
Demikian pula, kebiasaan perempuan koruptor yang mengenakan kerudung saat di sidang pengadilan. Mengapa hakim membiarkan hal ini terjadi? Seharusnya hakim bertanya, apakah terdakwa mengenakan kerudung dalam kehidupan kesehariannya? Jika tidak, dan hanya kamuplase untuk menghindari jepretan kamera, hakim harus melarangnya, karena akan merusak citra Islam oleh orang yang perbuatan korupsinya diharamkan dalam Islam.
Inikah Indonesia dengan predikat negara demokrasi yang dipuja puji itu?
(saifalbattar/arrahmah.com)