BRUNEI (Arrahmah.com) – Brunei Darussalam telah menjadi negara Asia timur pertama yang menerapkan Syariah sebagai hukum pidana nasional.
“Teori menyebutkan bahwa hukum Allah itu kejam dan tidak adil, namun Allah sendiri telah mengatakan bahwa hukum-Nya sungguh-sungguh adil,” kata Sultan Hassanal Bolkiah pada Rabu (30/4/2014), seperti dilansir VN.
“Hari ini, dengan nama Allah dan syukur kepada-Nya, saya mengumumkan bahwa besok, Kamis 1 Mei 2014, akan diberlakukan hukum syariah tahap satu, dan akan diterapkan secara bertahap,” tegas Sultan dalam sebuah pidato seperti dilansir CNA pada Rabu (30/4).
Menurut tahap pertama hukum ini, mereka yang memiliki anak di luar nikah, tidak melaksanakan shalat Jum’at atau mempromosikan agama selain Islam akan diharuskan untuk menghadapi pengadilan Islam dan bisa menghadapi hukuman penjara atau denda.
Tahap kedua direncanakan akan dilaksanakan satu tahun dari sekarang dan termasuk hukum cambuk dan amputasi untuk kejahatan seperti pelanggaran mengkonsumsi alkohol dan pencurian.
Setahun setelah itu, mereka yang melakukan perzinahan, sodomi atau menghina Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bisa menghadapi hukuman mati.
Brunei Darussalam, sebuah negara kecil dengan populasi sekitar 70 persen Muslim Melayu dan memiliki setidaknya 15 persen minoritas non-Muslim etnis Tionghoa.
Brunei adalah salah satu negara terkaya per kapita di dunia, yang bergantung pada ekspor gas alam dan minyak untuk pendapatannya.
Menanggapi Brunei sebagai negara Asia timur pertama yang sepenuhnya mengadopsi komponen hukum pidana Syariah pada skala nasional, kafir Barat mengklaimnya sebagai contoh terbaru dari meningkatnya “konservatisme” agama di wilayah tersebut.
Sampai saat ini, sistem peradilan Brunei telah diatur oleh hukum perdata, yang tersisa dari masanya sebagai protektorat Inggris.
Hukum Syariah sudah ada di negara ini dalam berbagai kapasitas, tetapi terutama dijalankan pada kebiasaan sosial dan hal-hal kekeluargaan bagi umat Islam. Namun saat ini, keputusan Sultan untuk menerapkan hukum Syariah berlaku bagi semua warga negara Brunei.
Brunei Times melaporkan bahwa pengenalan Syariah “mencerminkan cinta Raja yang saleh kepada Islam dan keinginan besar untuk mencari ridha Allah. Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa hukum pidana negara itu sejalan dengan Syariah seperti yang diarahkan oleh Allah.”
Pengumuman itu tidak sepenuhnya mengejutkan. Pemerintah Brunei telah secara bertahap memberlakukan pembatasan lebih lanjut tentang kehidupan sosial dan sipil dalam beberapa bulan terakhir.
Seorang pejabat pengadilan senior mengumumkan pada bulan Februari bahwa perilaku tidak senonoh akan dianggap ilegal di bawah hukum Syariah bagi Muslim dan non-Muslim dan hukumannya akan mencakup denda atau penjara.
Para kafirin di badan hak asasi manusia PBB mengecam keputusan Sultan, dan mengklaim itu “sangat memprihatinkan.” Mereka mengklaim hukuman rajam merupakan penyiksaan dan hukuman yang kejam dan tidak biasa di bawah hukum internasional.
Kritik lainnya terhadap sistem hukum baru di Brunei ini juga datang dari mereka yang tidak memahaminya dan menyuarakan “keprihatinan” mereka di media sosial dalam beberapa bulan terakhir. Namun mereka pun terdiam setelah Sultan mengingatkan negara bahwa mereka yang secara terbuka mengkritik hukum Allah juga bisa menghadapi hukuman berat.
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Q.S. Al-Ma’idah: 50)
(banan/arrahmah.com)