JAKARTA (Arrahmah.com) – Rencana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengambil alih pengelolaan tanah wakaf milik Habib Bugak Al Asyi, warga Aceh yang mewakafkan tanah di Arab Saudi ratusan tahun silam menuai kritik. Pemerintah Pusat diminta agar menolak usulan tersebut, karena itu bukan tanah milik negara.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Usman Al Farlaki mengatakan, rakyat Aceh harus menolak usulan tersebut. Tanah wakaf itu merupakan bentuk penghargaan yang diberikan Habib Bugak Al Asyi kepada rakyat Aceh.
“Aceh harus tolak upaya ini. Sebab lafal wakaf itu untuk Aceh bukan untuk pengelola haji pusat,” kata Iskandar Usman Al Farlaki, Sabtu (10/3) di Banda Aceh, lansir Merdeka.
Iskandar mengatakan akan membahas persoalan ini antara DPRA dan Pemerintah Aceh, agar menolak rencana tersebut. Pemerintah Pusat harus paham dan memahami sejarah tanah wakaf tersebut diberikan kepada siapa.
“Jangan main sikut saja. Buka kembali kronologi tentang wakaf tersebut. Jadi jangan asal mempermainkan wakaf seseorang. Wakaf itu jelas peruntukannya untuk rakyat Aceh,” tegasnya.
Kritikan lainnya juga dilontarkan oleh Kepala Ombudsman Kantor Perwakilan Aceh, Dr Taqwadin Husen. Kata Taqwadin, tanah wakaf di Arab Saudi itu bukan milik Pemerintah Aceh dan juga Pemerintah Pusat. Akan tetapi, itu merupakan tanah yang diwakafkan untuk kepentingan seluruh rakyat Aceh.
Menurutnya, tanah itu jelas bunyi wasiatnya diperuntukkan untuk keperluan rakyat Aceh. Pada tahun 2006 lalu, ungkap Taqwadin, dirinya pernah menerima uang tunai dari kemanfaatan harta wakaf tersebut, yang langsung diserahkan oleh Nadzir (pengelola tanah wakaf di Arab Saudi).
“Mereka mengantarkan uang tunai tersebut ke kamar-kamar jemaah, bukan antre. Begitu pengalaman yang saya alami, betapa Nadzir yang orang Arab sangat menghargai kita orang Aceh, karena wakaf nenek moyang kita,” ujarnya.
Nah, bagaimana kalau nantinya tanah wakaf itu dikelola oleh pemerintah pusat. Apakah nantinya akan memperlakukan hal yang sama seperti Nadzir di Arab Saudi. Taqwadin sendiri meragukan hal tersebut dan meminta agar tidak dikelola oleh BPKH tanah wakaf tersebut.
“Apakah jika Nadzirnya Pemerintah RI, mereka juga akan menghargai kita seperti yang saya alami?” ungkapnya.
Terkait dengan wasiat tanah wakaf yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat Aceh, lanjutnya, banyak orang yang tahu. Di antaranya Abu Mekkah, Waled Abdul Muthaleb, Prof Azman, Prof Al Yasa dan sejumlah tokoh-tokoh lainnya mengetahui secara detail tanah wakaf tersebut.
“Jika harta wakaf tersebut dikelola pemerintah, nanti kita akan antre dalam menerima hasil pengelolaan dari wakaf nenek moyang kita,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia berharap tanah wakaf itu tidak diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh. Akan tetapi biar tanah itu dikelola seperti sekarang dan setiap tahun jemaah haji asal Aceh mendapatkan bagi hasil sebesar sekitar 1.500 sampai 2.000 riyal per jamah.
Menurut Taqwadin, esensi tanah wakaf itu diserahkan kepada Allah dengan harapan mendapat pahala sepanjang masa. Makanya, harta wakaf tidak boleh dijual, disewakan, dihibahkan, dipinjamkan, dijadikan agunan atau ditukar.
“Barang siapa yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana, karena pentingnya dari sisi agama kita mengelola harta wakaf sehingga dibentuk khusus undang-undang wakaf,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)