JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi IX DPR-RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengenai penanggulangan dan pengendalian defisit keuangan di BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan tahun lalu mengalami defisit sebesar Rp9,75 triliun. Sementara angka defisit hingga penghujung tahun ini, nilainya berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diperkirakan membengkak menjadi Rp11,2 triliun.
Menanggapi hal ini, direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris mengungkapkan penyebab defisitnya keuangan BPJS Kesehatan. Salah satunya yakni minimnya iuran dana yang diberikan oleh masyarakat penerima manfaat.
“Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah),” kata Fahmi dalam rapat dengar pendapat di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Senin (17/9/2018), lansir Merdeka.com.
Berdasarkan data premi sejak 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.
“Kondisi besaran iuran ini menyebabkan biaya per orang per bulan lebih besar dibandingkan premi per orang per bulan,” kata Fachmi.
Fachmi tak memungkiri defisit yang dialami oleh perusahaan masih bisa terus meningkat lagi. Sebab menurutnya, posisi saat ini belum menjadi puncak dari defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan.
“Defisit belum sampai puncaknya, karena pemanfaatan program ini belum sampai tingkat maturitas. Memang sudah tinggi, tapi belum sampai puncaknya,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)