LONDON (Arrahmah.com) – Sosok kontroversial dan penghina Islam, Boris Johnson, memenangkan perlombaan untuk menjadi perdana menteri Inggris berikutnya kemarin (23/7/2019).
Mantan walikota London dengan mudah mengalahkan saingannya, Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, dalam pemilihan anggota Partai Konservatif yang memerintah.
Dia diperkirakan akan dikukuhkan sebagai perdana menteri hari ini (24/7), ketika pendahulunya Theresa May secara resmi mengajukan pengunduran dirinya kepada Ratu Elizabeth II.
Congratulations to Boris Johnson on becoming the new Prime Minister of the United Kingdom. He will be great!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) July 23, 2019
Ini adalah kemenangan bagi seorang pria yang selalu berambisi memperoleh jabatan teratas, tetapi Johnson, yang dikenal karena berantakan, lelucon pedas, serta sering terlambat menghadiri acara, mengambil alih posisi tersebut pada saat pergolakan politik dan diplomasi yang luar biasa Inggris.
Johnson memimpin kampanye Brexit 2016 dan – setelah May menunda Brexit dua kali – menegaskan tenggat waktu terakhir harus dijaga, dengan atau tanpa perjanjian perceraian dengan Uni Eropa.
“Kami akan menyelesaikan Brexit pada 31 Oktober,” katanya setelah memenangkan 66% dari hampir 160.000 suara.
Namun, Brussels mengatakan tidak akan menegosiasikan kembali kesepakatan yang dibuatnya dengan May untuk mempermudah berakhirnya kemitraan yang sudah berlangsung selama 46 tahun tersebut – bahkan setelah anggota parlemen menolaknya tiga kali.
Negosiator Uni Eropa Michel Barnier mengatakan dia ingin bekerja dengan Johnson “untuk memfasilitasi ratifikasi perjanjian penarikan dan mencapai Brexit yang tertib.”
Namun dia mengatakan dia siap untuk “mengerjakan ulang” deklarasi yang menyertai pada hubungan UK-UE di masa depan.
Meskipun parlemen tidak menyukai kesepakatan May, Johnson menghadapi oposisi yang signifikan dari anggota parlemen terhadap ancamannya untuk pergi tanpa kesepakatan, termasuk dari rekan-rekan Konservatif.
Beberapa menteri mengatakan mereka enggan bekerja di bawah Johnson, memperingatkan bahwa memutuskan hubungan dengan mitra dagang terdekat Inggris tanpa pengaturan baru sangat tidak bertanggung jawab.
Tetapi berbicara kepada anggota Konservatif setelah kemenangannya, Johnson bersikeras dengan optimisme khasnya bahwa ia akan menemukan jalan keluar dari jalan buntu.
Tahun lalu, mantan menteri luar negeri Inggris ini melempar komentar pedas terhadap para muslimah yang mengenakan cadar. Johnson membandingkan mereka dengan perampok bank atau kotak surat berjalan dalam sebuah artikel untuk Daily Telegraph.
“Jika anda memberitahuku bahwa burka itu menindas, maka saya bersama anda,” tulisnya.
“Jika anda mengatakan bahwa itu aneh dan menilai bahwa memerintahkan wanita untuk menutupi wajah mereka sebagai penindasan, maka saya setuju sepenuhnya – dan saya akan menambahkan bahwa saya tidak dapat menemukan otoritas tekstual untuk praktek ini dalam Al Quran.”
Dia kemudian mengklaim, “Benar-benar konyol bahwa orang harus memilih untuk berkeliling seperti kotak surat.”
“Setiap siswa perempuan yang datang ke sekolah dengan berpenampilan seperti seorang perampok bank harus diminta untuk membuka penutup wajah mereka,” dia kemudian menambahkan.
Setelah komentar yang menuai kemarahan komunitas Muslim Inggris bahkan ketua Partai Konservatif Brandon Lewis ini, ia tetap enggan meminta maaf bahkan membela pernyataannya.
“Jika kita gagal berbicara untuk nilai-nilai liberal maka kita hanya memberikan landasan kepada kaum reaksioner dan ekstrimis,” ungkap sumber yang dekat dengan Johnson kepada BBC Agustus tahun lalu.
Boris Johnson telah dikaitkan dengan aktivis Amerika sayap kanan Steve Bannon, yang beberapa orang percaya bisa berada di belakang pernyataan mantan menteri luar negeri tentang niqab tersebut. (Althaf/arrahmah.com)