JAKARTA (Arrahmah.com) – Bom tupperware Poso meledak di halaman Mapolres Poso, Senin pagi (3/6/2013), saat personel polisi sedang melakukan apel pagi. Korban meninggal satu orang dengan kondisi badan hancur, bagian tubuh berserakan, usus terburai, namun kepala tetap utuh dan dapat jelas dikenali. Bom berkekuatan besar, diperkirakan seberat 7 sampai 10 kg dan terdengar sampai radius 5 kilometer.
Informasi intelejen yang diungkap oleh Kapolres Poso menyebutkan bahwa, akan ada upaya serangan ke markas polres atau markas kepolisian yang ada di Sulawesi Tengah sebelum 1 Juli dari kelompok garis keras bersenjata. “Dengan demikian kita sudah meningkatkan penjagaan Polres poso dan keamanannya, meningkatkan penjagaan dan pemeriksaan.” Demikian ungkap Kapores Poso.
Publik terkejut, diam, setengah mendukung, mendukung penuh, dan mengecam. Analisa mengemuka dan membongkar. Poso kembali menjadi icon yang seksi untuk menjadi publikasi, pengalihan isu, propaganda Densus88, agenda tersembunyi BNPT, para politikus dan sedret kepentingan lainnya.
Harits Abu Ulya, pemerhati kontra-terorisme dan Direktur CIIA (The Community Of Ideoligical Islamic Analyst), dalam analisanya yang diterima redaksi arrahmah.com menyebut “Kekerasan adalah anak kandung kekerasan”. Dan dalam konteks ini, kekerasan sangat mungkin adalah produk rekayasa dari tangan-tangan intelijen gelap demi sebuah kepentingan politik opuntunir. Lebih lengkap berikut adalah analisanya tentang pelaku dan motif bom Mapolres Poso.
opini dan politik?
Siapapun yang mencermati media massa, elektronik (TV,Radio) dan online minimal bisa Dampak mencatat point-point implikasi dari kasus bom bunuh diri di Mapolres Poso;
-
Bom Mapolres Poso menjadi pembenaran propaganda BNPT selama ini bahwa Poso adalah sarang terorisme. Suka atau tidak suka sebuah aksi pengeboman saat ini diklaim sebagai simbol atau produk dari sebuah agenda terorisme.
-
Bom Mapolres Poso tidak hanya menjadi kosumsi berita masyarakat lokal Poso atau Indonesia tapi juga dunia.Mengingat Poso dimasa lalu memiliki sejarah dan akar konflik yang sampai hari ini belum terurai dengan tuntas.Dan aspek ini menjadikan Poso pusat perhatian sebagian media asing.
-
Bahkan kasus ini membuka peluang terusiknya kembali kehidupan masyarakat Poso yang relative tenang. Sinyal Poso siaga I kembali ditabuh, seolah-olah dalam kondisi yang sangat genting.Otomatis akan melahirkan dampak tersendiri dalam kehidupan sosial politik ekonomi dan keamanan di Poso.Kenapa? karena akan banyak aparat berseliweran. Sekalipun sejatinya masyarakat Poso sudah hapal dan menganggap urusan terorisme adalah basi dan tidak mengangetkan bagi mereka.
-
Bom Mapolres Poso memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi BNPT untuk mengkonstruksi opini dan propaganda dalam konteks kontra-terorisme di Indonesia.Di bantu oleh media TV yang sudah MoU dengan BNPT.Bahkan akan memastikan kehadiran kembali Densus 88 ke wilayah Poso dan sekitarnya.
-
Kasus Bom kali ini juga akan mempengaruhi dinamika politik di parlement (DPR) yang rencana membuat Panja terkait kinerja Densus88 dan BNPT.Yang sebelumnya mereka (komisi 3-DPR) sudah turun ke Palu dan mendengarkan Panja DPRD Poso terkait peristiwa kekerasaan yang melibatkan aparat Densus 88.
-
Dalam kerangka yang lebih besar, peristiwa aksi pengeboman akan makin meneguhkan pemerintahan SBY untuk melanjutkan proyek perang melawan terorisme di Indonesia. Dan bisa dimanfaatkan untuk menggalang empati dan support dana dari asing untuk menjaga kontinuitas perang melawan terorisme di Indonesia.
-
Dalam konteks global, peristiwa demi peristiwa aksi “terorisme” di Indonesia telah memberikan angin surga bagi asing untuk terlibat lebih jauh dalam soal keamanan dan politik domestik dengan topeng bantuan dana atu training-training (capacity building) bagi aparat keamanan di Indonesia.
-
Satu hal yang juga perlu diungkap adalah; kritikan dan rasa kecewa dari sebagian kalangan tokoh-tokoh Islam.Bahwa kekerasan dan terror apapun itu tidak diajarkan oleh Islam, apalagi jika korbannya jelas-jelas umat Islam sendiri.Dan peristiwa ini menjadi kontraproduktif atas perjuangan umat Islam lainnya.Dan menjadi kendala ketika tokoh-tokoh ini mencoba mengadvokasi umat Islam yang terdzalimi karena isu terorisme.Bahkan sebagian dari mereka juga menuntut Densus88 di evaluasi kalau perlu dibubarkan, tapi dengan peristiwa bom Mapolres Poso justru berbalik.Karena peristiwa ini menjadi legitimasi kehadiran Densus 88 dan eksistensinya.
-
Di sisi lain harus di akui bahwa aksi bom Mapolres Poso bagi sebagian kelompok jihadis di Indonesia itu diklaim sebagai aksi bom syahid (istishadiyah). Dilakukan untuk melawan penguasa thogut dan penolongnya (anshorut thogut).Dan aksi itu dilakukan untuk memberi pesan bahwa mereka masih eksis dan kapan saja bisa membuat perhitungan (balasan).Aksi tersebut banyak yang memuji dan bahkan menginspirasi bagi sebagian lainnya.
Siapa pelakunya?
Dari penuturan BNPT (Ansyaad Mbai) dan segelintir pengamat, aksi ini belum bisa dipastikan apakah pelaku terkait dengan kelompok NII, JI atau JAT. Orang baru atau orang lama,atau bahkan dari jaringan baru. Menurut saya sebenarnya aparat Densus 88 dan BNPT tidak sulit untuk melacak siapa sebenarnya pelaku.Mengingat masih ada bagian kepala dengan wajah yang utuh paska aksi bom Mapolres Poso tersebut. Pihak kepolisian bisa mempublish dan menyerap informasi dari operasi intelijen dilapangan siapakah sosok pelaku tersebut. Probabilitasnya sangat tinggi bagi aparat untuk mudah dapatkan identitas si pelaku.Apalagi kalau mau membuka data lama, baik terkait peta kelompok-kelompok yang dicap teroris oleh Densus88 dan BNPT atau dicap kelompok sipil bersenjata yang ada di wilayah Poso.Begitu juga file yang berisi data orang-orang lama (kombatan) maupun data orang-orang baru yang semisal diduga terlibat peristiwa di Tamanjeka.
Sejak Januari 2013 aparat kepolisian merilis 24 orang DPO yang diduga terlibat terror di Tamanjeka yang menewaskan beberapa personil Polri. Aparat bisa juga mengkonfirmasi dan mencocokkan data fisik pelaku (wajah) dengan foto wajah orang-orang DPO yang dipajang didepan Mapolres Poso dan dibeberapa sudut kota Poso. Dan 24 orang DPO versi aparat itu antara lain: 1. Santoso alias Abu Warda, 2.Mamat, 3. Alian San alias pakde alias komandan, 4.Hendro,5. Taufiq Buraga alias Upik Lawanga, 6.Herman alias David, 7. Fadlun alias Lun, 8. Faris alias Anto, 9. Sugianto alias Su alias Abi Irul, 10.Can alias Fajar alias Muhammad Fuad, 11.Ambo Intan alias Ambo alias Pambo, 12.Ali Sanang alias Papa Kairul, 13. Imron, 14.Aziz alias Papa Sifa, 15.Sugir alias Yanto alias Mas Yanto, 16.Busro alias dan alias Atif, 17.Maskoro alias Daeng koro alias Abdussalam alias Sabar, 18.joko alias Kadir, 19.Samil alias Nunung, 20.Bogar, 21.Hadit, 22.Salahudin alias jon, 23. Ambo, 24. Ipung.
Dari nama-nama diatas ada yang sudah menyerah, tertangkap. Dan sebagian lainnya diluar daftar nama diatas sudah tewas ditangan Densus 88 dan sebagian besar lainnya ditangkap hidup dan dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua dari Enrekang, Makassar, Dompu, Bima.Bahkan di akhir Mei 2013 Densus 88 menangkap sekitar 27 orang dan membunuh 7 orang dalam operasinya, dimana buruan Densus 88 ini dikaitkan dengan kelompok yang ada di wilayah Poso dari jaringan Abu Robban diluar jaringan yang dibawah kendali Santoso.
Jika Densus 88 dan BNPT tidak juga menemukan kecocokan dari data yang ada, bisa jadi karena invalidnya data Densus 88. Atau benar adanya bahwa telah muncul orang-orang baru atau bahkan muncul kelompok-kelompok baru di wilayah Poso.Analisa saya untuk sementara menegasikan kemungkinan “produk intelijen”.
Dan analisa saya, pelaku bukanlah orang baru. Dan juga tidak bisa dikaitkan dengan kelompok NII, JI secara langsung apalagi JAT. Sebuah realita, konflik Poso telah melahirkan residu yang mengkristalkan model kelompok atau orang yang demikian kuat untuk ambil jalan-jalan “extra ordinary”. Jalan ini sebagai “jawaban” atas ketidak adilan bagi mereka paska konflik di wilayah Poso. Sekaligus sebagai respon atas kedzaliman aparat keamanan khsususnya Densus 88 terhadap jejaring kelompok mereka.Apakah mereka masih terkait Santoso, analisa saya kemungkinan masih terkait.Sekalipun pelaku atau orang-orang dibelakangnya tidak langsung dibawah kontrol Santoso.Dan aksi-aksi yang direncanakan di pandang sebagai “Jihad” bagi mereka dengan segala pertimbangan dan argumentasinya (istidlal).Dan menurut saya Santoso masih menjadi icon yang “seksi” untuk banyak kepentingan dengan menjadikan wilayah Poso sebagai panggung pertarungannya.
Di sisi lain, media tidak berimbang dalam pemberitaan dan mencerap sumber informasi dalam banyak isu terorisme.Pada titik ini sangat mungkin institusi model BNPT dengan leluasanya membuat tuduhan-tuduhan tendensius, opini dan propaganda dengan kepentingan-kepentingan politik dibelakangnya.Khalayak harus cermat dan obyektif untuk bisa memilah antara fakta dan propaganda.
Apa motif dan stimulannya?
Berangkat dari fakta dilapangan terlihat bahwa pelaku seorang diri. Dan targetnya adalah aparat kepolisian (bukan TNI), dan dengan harapan untuk melahirkan dampak yang maksimal maka pilihannya adalah Mapolres di saat aparat apel pagi. Kemungkinan ketidak cermatan pelaku dan mungkin kendala psikis lainnya yang ujung hasil aksi tersebut tidak seperti yang diharapkan. Namun, tetap saja tentang perasaan “takut, cemas, terteror” bagi aparat kepolisian telah didapatkan oleh sang pelaku atau kelompok yang dibelakangnya.
Dan aksi tersebut bukan produk “bim salabin ala kedabra” (sulap). Aksi ini adalah setitik akumulasi dari dinamika sebelumnya. Kita bisa mencermati beberapa hal sebelum aksi tesebut terjadi;
-
Sejak peristiwa kekerasan di Tamanjeka di akhir tahun 2012 kemudian diwilayah Poso di gelar Operasi Aman Meleo I, dengan menggerakkan personil 1.185 polisi dan 170 TNI. Bahkan operasi ini dilanjutkan ke Maleo II.Diluar itu, Densus88 berburu secara massif ke wilayah Poso dan di wilayah Sulsel (Sulawesi Selatan) seperti Maros, Makassar, Enrekang dan sekitarnya. Bahkan meluas di wilayah Dompu-Bima dan beberapa kota di Jawa seperti Solo dan lainnya. Hasilnya sekitar 12 orang meninggal dan puluhan orang ditangkap.
-
Di sisi lain, paska peristiwa Tamanjeka merembet terjadinya kasus kekerasan oleh aparat kepolisian di wilayah Kalora-Poso. Sekitar 14 orang di gebukin dan menerima perlakuan yang sangat tidak manusiawi oleh aparat di Mapolres dengan tuduhan terlibat terror Tamanjeka. Akhirnya tidak terbukti dan dilepas, kemudian atas desakan berbagai pihak pelakunya (dari aparat kepolisian) di tindak. Namun penulusuran dilapangan membuktikan ada rekayasa, yang ditindak adalah bukan pelaku aslinya alias ada yang dikorbankan.
-
Di bulan Mei 2013, Densus88 kembali beraksi di wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan menewaskan 7 orang (di Batang, Bandung,Kebumen, dll) dan menangkap sekitar 26 orang dengan tuduhan terkait jaringan Santoso (Poso) di bawah pimpinan Abu Robban.
-
Situasi Poso makin menjadi perhatian banyak pihak setelah Komnas HAM melakukan investigasi kekerasan oleh aparat (Densus88) di tahun 2007. Peristiwa 2007 terkait aksi terror dan mutilasi yang menjadi iconnya adalah Basri alias Ayas alias Bagong. Dan langkah Komnas HAM ini juga senada dengan hampir seluruh komponen umat Islam dan tokoh-tokoh khususnya menggelar langkah mempersoalkan eksistensi Densus 88 dan BNPT. Disamping itu juga Komisi III DPR RI berencana membuat panja terkait kekerasan yang dilakukan oleh Densus88. Yang menarik, justru Basri terpidana 19 tahun tersebut ditanggal 17 April 2013 melarikan diri setelah menjenguk keluarganya di Poso.
-
Selama bulan Mei 2013, beberapa pekan di wilayah Poso khususnya di sekitar Sausu dilakukan operasi intensif oleh aparat Brimob setempat.
-
Di berbagai media, pihak BNPT menyudutkan Poso adalah sarang teroris. Dan semua aksi-aksi (baik baru rencana atau yang sudah terlaksana) yang terjadi dibeberapa wilayah di pulau Jawa diklaim bermuaranya adalah Poso.Dan dari beberapa kondisi dan peristiwa diatas menjadi alasan logis kehadiran Densus 88 kembali di walayah Poso.
Sedikit banyak faktor-faktor diatas menjadi stimulan lahirnya aksi bom bunuh diri (versi jihadis: istisyhadiyah) dari seseorang atau kelompok di Poso, sebagai jawaban (motif) atas kondisi “ketidak adilan” yang mereka rasakan.Dan sekaligus tuntutan agar aparat bisa berbuat adil dan manusiawi melihat dan menyelesaikan problem mereka di wilayah Poso.Karena bagi mereka yang melakukan aksi, melawan dan atau mendahului menyerang sekalipun berujung kematian adalah lebih mulia dibandingkan mereka diam tetap saja mati konyol ditangan Densus88. Pilihannya Cuma diantara; diam mati, lari mati, melawan mati.
Berkembang logika yang cukup “liar”, jika Densus88 bisa melakukan apa saja yang mereka mau dan suka maka masyarakat atau sebagain dari mereka juga bisa melakukan yang serupa.Jadi inilah puzzle-puzle kekerasan dan terror produk dari spiral kekerasan dan terror yang di tampilkan secara “heroik” oleh Densus88 dengan bantuan media. Apakah ini disadari oleh BNPT, Komandan Densus88, Kapolri, atau bahkan Presiden? Waktu yang akan membuktikan, yang perlu di ingat adalah “Kekerasan adalah anak kandung kekerasan”.Dan dalam konteks ini, kekerasan sangat mungkin adalah produk rekayasa dari tangan-tangan intelijen gelap demi sebuah kepentingan politik opuntunir.
(azmuttaqin/arrahmah.com)