(Arrahmah.com) – Para sahabat radhiyallahu ‘anhum pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang berpuasa sedangkan yang lain tidak berpuasa. Para sahabat yang berpuasa tidaklah mencela sahabat lain yang tidak berpuasa. Demikian pula, para sahabat yang tidak berpuasa tidaklah mencela sahabat lain yang berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ketika safar tersebut. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Tidak ada di antara kami yang berpuasa selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Abdullah bin Rawahah.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
Kaidahnya seorang musafir diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Namun, jika puasa tidak menyusahkannya, maka berpuasa lebih afdhal. Sebab, berpuasa ketika itu memiliki tiga faidah.
Pertama: Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Puasa terasa ringan. Karena apabila seseorang berpuasa bersama umat Islam lainnya maka itu akan terasa lebih ringan baginya.
Ketiga: Lebih cepat menggugurkan kewajiban puasa.
Akan tetapi, jika puasa malah memberatkannya, maka ia boleh tidak berpuasa. Bahkan, bukanlah termasuk kebaikan jika ia tetap berpuasa ketika safar di keadaan semisal itu (dalam perjalanan yang berat). Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyaksikan seseorang yang sedang dipayungi dan di sekitarnya banyak orang berkerumun. Beliau pun bertanya, “Ada apa ini?”. Mereka menjawab, “Orang ini sedang berpuasa”. Lalu beliau bersabda,
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِيْ السَّفَرِ
“Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)
Dengan demikian, keumuman hadits tersebut berlaku untuk para musafir yang mengalami kondisi semisal laki-laki di atas yang berat baginya berpuasa.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami katakan, “Safar di zaman sekarang ini amatlah mudah, sebagaimana ucapan penanya, umumnya berpuasa tidaklah terasa berat. Jika demikian, maka yang lebih utama adalah tetap berpuasa”.
Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah, cetakan ketiga, tahun 1437 H, hal. 555-556 / Muslimah.or.id
(*/Arrahmah.com)