GAZA (Arrahmah.id) – CEO Starbucks Brian Niccol telah mengakui bahwa boikot atas genosida ‘Israel’ di Gaza telah merugikan perusahaan secara finansial, khususnya di Timur Tengah. Dalam wawancara dengan Bloomberg pada Jumat (14/2/2025), Niccol mengakui dampaknya dan menyebut boikot tersebut “sangat disayangkan,” dan menegaskan bahwa Starbucks “tidak pernah mendukung militer mana pun.”
Komentarnya muncul setelah kepala keuangan Starbucks mengungkapkan pada April bahwa penjualan di toko sejenis di luar AS telah turun sebesar 6% pada kuartal kedua 2024. Perusahaan tersebut secara khusus menyebut Timur Tengah sebagai alasan utama penurunan tersebut, karena lokasi Starbucks di wilayah tersebut menghadapi boikot yang meluas terkait dengan genosida di Gaza.
Seruan untuk memboikot Starbucks meningkat setelah perusahaan tersebut mengambil tindakan hukum terhadap Starbucks Workers United, serikat pekerja yang mewakili karyawannya. Pada 9 Oktober, dua hari setelah ‘Israel’ mulai membombardir Gaza, serikat pekerja tersebut mengunggah pesan di X yang menyatakan solidaritas dengan Palestina. Starbucks segera mengajukan gugatan hukum, menuduh serikat pekerja tersebut merusak reputasinya dengan menggunakan nama dan logo Starbucks. Tindakan tersebut memicu kemarahan, yang berujung pada protes dan boikot konsumen yang semakin meluas.
Meskipun mengalami kerugian finansial, Starbucks terus melanjutkan rencana ekspansinya. Niccol mengonfirmasi bahwa Alshaya Group, operator waralaba Starbucks di Timur Tengah, akan membuka 500 gerai baru di wilayah tersebut dalam lima tahun ke depan.
Klaim Starbucks tentang kenetralan tidak sejalan dengan tindakan pimpinannya. Pendiri dan mantan CEO Howard Schultz, yang tetap menjadi pemegang saham swasta terbesar di Starbucks, memiliki sejarah panjang dalam mendukung ‘Israel’. Investasinya baru-baru ini di perusahaan rintisan keamanan siber ‘Israel’, Wiz, semakin memicu tuduhan bahwa Starbucks mendapat untung dari pendudukan tersebut. (zarahamala/arrahmah.id)