JAKARTA (Arrahmah.com) – Satu lagi acara layar kaca yang mendapatkan sanksi berhenti sementara, “Makin Malam Makin Mantap” atau 4M. Sanksi itu dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena banyaknya pengaduan dan laporan masyarakat tentang isi materi acara tersebut.
Program acara ini dianggap telah melakukan kesalahan fatal. Dalam salah satu episode tayangannya, membicarakan payudara dan alat kelamin secara vulgar.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Sasa Djuarsa Sendjaja, mengatakan, program 4M episode 2 Oktober 2009 dengan jelas telah melanggar UU Penyiaran pasal 36 ayat 5 huruf (b) serta Standar Program Siaran (SPS) pasal 11, pasal 13, pasal 17, pasal 65, pasal 19 ayat 3, serta pasal 23 ayat 1 dan 2. Penghentian sementara ini, kata Djuarsa, diberlakukan terhitung mulai tanggal 9 Oktober 2009 dan maksimum selama dua bulan.
Koordinator Bidang Isi Siaran KPI, Yazirwan Uyun, menjelaskan bahwa sanksi terhadap ucapan yang tidak pantas pada siaran langsung acara TV diberlakukan secara internasional. “Itu berlaku internasional,” katanya.
Sementara itu, pemerhati pendidikan yang juga mahasiswa Pascasarjana Kajian Islam dan Psikologi Universitas Indonesia Agung Trana Jaya, mengatakan bahwa ada kesan jika pengelola pertelevisian kerap mempermainkan aturan dan kode etika jurnalitik televisi dan hanya mementingkan capaian laba saja.
Saat ini TV telah menjadi mainstream (arus utama) penetrasi dan transformasi budaya hedonisme dan permisif, yang pelan-pelan menggerus dan menelantarkan moral anak bangsa.
“Jadi sebetulnya, media media saat ini sudah berubah akronim menjadi monstrous, endoctrinate, destroy, insult, dan anarchi,” kata Trana kepada www.hidayatullah.com, Rabu (07/06) kemarin.
Tak dapat disangkal, kata Trana, bahwa TV telah acap kali mempertontonkan kengerian, melekatkan stigma, kekejiaan, atau mengetengahkan langgam anarkisme kepada publik, meski katanya sudah lulus sensor. Bahkan hal itu tak terhitung jumlahnya.
“Kalau seperti itu, mau di bawa ke mana arah hidup anak-anak kita yang memang sudah terjajah dengan hegemoni televisi,” ujar Trana menyayangkan.
Ditegaskan Trana, orangtua hendaknya harus mengambil sikap tegas. Jika menganggap televisi tak memberikan nilai edukasi kepada anak, maka tidak salah jika TV ditiadakan sama sekali dari dalam rumah.
“Lakukan aksi boikot. Kita tidak mati kok tanpa TV. Kalau hanya sekedar informasi, banyak media lain yang bisa digunakan selain televisi,” ujarnya.
Namun, jika hal itu tidak memungkinkan, maka menurut Trana, orangtua atau anak mestinya bisa selektif dan proporsional dalam memilih channel acara televisi. “Tetap harus ada kontrol,” imbuh Trana. (hdytlh/arrahmah.com)