CANBERRA (Arrahmah.com) – Sebuah perusahaan konsultan medis Australia telah terjebak dalam badai media setelah dilaporkan bahwa Cpharm yang berbasis di Australia ini telah menandatangani kesepakatan dengan Taliban untuk mendanai pabrik pengolahan ganja senilai $450 juta, lansir Reuters, Kamis (25/11/2021).
Pada Rabu (24/11), Pajhwok Afghan News Afghanistan melaporkan bahwa Cpharm Australia akan menginvestasikan $450 juta untuk mendirikan pabrik pengolahan hashish di Afghanistan, mengutip juru bicara Kementerian Dalam Negeri Qari Saeed Khosti.
Kelompok media, sekali lagi mengutip Khosti, menyatakan bahwa perwakilan dari perusahaan yang berbasis di Australia telah bertemu dengan pejabat Taliban, dan bahwa pekerjaan praktis di pabrik akan segera dimulai. Fasilitas itu akan membuat obat-obatan dan krim tertentu, laporan itu mengklaim.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri bahkan dikutip mengatakan bahwa Taliban ingin membuat kerangka hukum untuk memungkinkan negara itu mendapat manfaat dari produk pertanian yang saat ini dilarang. Terlepas dari larangan tersebut, diduga bahwa Cpharm sudah memiliki 10.000 hektar tanah di Afghanistan untuk menanam ganja.
Laporan itu diambil oleh sejumlah kantor berita global, termasuk Times of London, yang juga menyebut perusahaan Australia itu. Akun Twitter terverifikasi yang terhubung dengan BBC dan Al Arabiya yang berbasis di Dubai juga menyebarkan klaim tersebut.
Namun, pada Kamis (25/11), Cpharm Australia menolak laporan tersebut. Kepala keuangan Cpharm Australia, Tony Gabites, mengatakan kepada Reuters bahwa mereka tidak memiliki transaksi di luar negeri atau apapun yang melibatkan ganja. “Kami hanya mencoba mencari tahu apa yang akan kami lakukan untuk menghentikannya,” tambahnya.
“Kami mungkin menerima 40 atau 50 panggilan hari ini. Itu di luar kendali dan itu semua bohong, teman-teman media tidak melakukan uji tuntas apa yang ingin mereka publikasikan,” tukasnya.
Bisnis keluarga dengan 17 staf, beroperasi dari pusat regional Maitland, New South Wales, menawarkan nasihat medis tentang produk farmasi dan tidak akan pernah bisa mengumpulkan dana $450 juta, kata Gabites.
“Sebagian besar perusahaan yang kita tangani akan melihat artikel itu dan tertawa,” kata Gabites, tetapi tidak mengesampingkan proses hukum jika reputasi bisnis rusak.
Gabites yakin cerita itu dimulai dengan akun Twitter terkait Taliban yang men-tweet tentang sebuah perusahaan bernama Cpharm, yang bisa jadi merupakan perusahaan lain dengan nama yang mirip. (Althaf/arrahmah.com)