JAKARTA (Arrahmah.com) – Untuk mengungkap dugaan keterlibatan Boediono dalam kasus Bailout Bank Century lebih baik menggunakan jalur politis dibandingkan proses hukum.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat upaya impeachment, atau pemakzulan dapat dilakukan, meski dugaan kesalahan yang dilakukan Wakil Presiden (Wapres) Boediono ketika itu masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI).
“Meski kejadiannya sepuluh tahun lalu, tapi ketika dia menjabat sebagai Wakil Presiden, impeachment bisa dilakukan,” kata Refly, terkait wacana pengajuan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) Century oleh sejumlah anggota DPR, ketika seperti dilansir Beritasatu.com, Jakarta, Rabu (28/11).
Refly menambahkan untuk mengungkap dugaan keterlibatan Boediono dalam kasus Bailout Bank Century lebih baik menggunakan jalur politis dibandingkan proses hukum, mengingat posisinya saat ini. “Karena yang bersangkutan menjabat sebagai Wakil Presiden,” tegas dia.
Meski demikian, Refly menegaskan pemakzulan ini tidak akan menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, lanjut dia, pemakzulkan dalam terkait kasus Century ini tidak berlaku satu paket seperti dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Dijelaskan Refly, pemakzulan nantinya tergantung pada siapa yang diduga melakukan pelanggaran konstitusi. “Inikan kesalahan individual. Jadi tergantung ‘dakwaan’ DPR kepada siapa,” tandas dia.
Tergantung Peta Kekuatan di DPR
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan HMP terkait kasus Century dan dugaan keterlibatan mantan gubernur Bank Indonesia, Boediono, tidak akan berujung pada pemakzulan, mengacu kepada peta kekuatan politik di DPR saat ini.
“Kalau mau impeachment tidak akan berhasil dengan kondisi kekuatan politik di DPR. Partai koalisi lebih banyak jumlahnya,” kata Yusril, di Jakarta, Rabu (28/11).
Selain menghitung kekuatan partai pendukung pemerintah, Yusril mengatakan upaya pemakzulan akan memakan proses yang panjang. Pasalnya, lanjut dia, dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Boediono harus diuji dahulu di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Akan terjadi perbedaan tafsir, karena kesalahan dia (Boediono) terjadi ketika tidak menjabat sebagai Wakil Presiden,” tandas guru besar hukum tata negara itu. (bilal/arrahmah.com)