Rashid Al-Rashq, seorang anak Palestina berusia 14 tahun, telah mengungkapkan bahwa pasukan penjajah “Israel” menyiksa dan menganiaya dirinya, termasuk melucuti pakaiannya, setelah dia dipenjara selama dua bulan atas tuduhan bahwa ia diduga melemparkan batu, lansir MEMO pada Jum’at (28/3/2014).
Rashid, yang berasal dari Kota Tua di Al-Quds, mengatakan kepada Quds News Agency bahwa polisi “Israel” menangkapnya di Kota Tua dan membawanya ke markas polisi Qishleh dekat gerbang Jaffa untuk menyelidiki dia tanpa didampingi ayahnya.
Anak malang itu menggambarkan bagaimana pasukan penjajah “Israel” memukulinya dan para penyidik menanggalkan pakaiannya selama penyelidikan, memaksa ia untuk duduk di sebuah kursi kecil.
Rashid menceritakan bagaimana selama tujuh hari pertama ia diinterogasi selama 24 jam sehari, sementara tangannya terikat di belakang punggungnya.
Polisi “Israel” menuduh ia melemparkan batu dan bom molotov ke pemukim Yahudi “Israel” dan satuan polisi di Al-Quds yang diduduki, dan ketika ia bersikeras menyatakan bahwa ia tidak melempar apapun, para penyidik malah memukulnya, menampar ia dan meludahi wajahnya.
Rashid mengatakan bahwa ia hadir di hadapan hakim hampir sepuluh kali, dan setiap kalinya ada “saksi kejutan”, termasuk pemukim Yahudi dan anggota badan intelijen “Israel” yang bersaksi melawannya.
Rashid adalah siswa kelas sembilan yang belajar di Panti Asuhan Islam di Kota Tua.
Ia menjelaskan bahwa para penyidik juga melakukan penyiksaan terhadap tahanan anak lainnya, menambahkan bahwa para penyidik mengancamnya untuk tidak menyebutkan penyiksaan atau penganiayaan terhadapnya di dalam penjara atau ia akan dipukuli lagi. Mereka juga memintanya untuk menandatangani surat-surat yang menyatakan bahwa ia tidak dipukuli, namun ia menolak untuk menandatanganinya.
Anak ini berbicara tentang penjara Hasharon di mana ia ditahan, menggambarkan bagaimana para tahanan di sana diabaikan dan dikurung di kamar lembab yang tidak memiliki ventilasi atau kondisi kesehatan yang layak.
Hakim membebaskan Rashid dengan jaminan, tapi menempatkannya di bawah tahanan rumah sampai bulan depan, selama waktu itu ia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah untuk bersekolah.
Ayah Rashid mengatakan kepada Quds News Agency bahwa selama hari-hari awal penahanannya, para penyidik menolak untuk mengizinkan dia untuk menghadiri investigasi anaknya.
Sang ayah juga mengatakan, “Hampir satu jam setengah setelah Rashid ditangkap, kepolisian menggerebek rumah mencari petunjuk tapi tidak menemukan apa-apa, dan ketika mereka selesai, petugas polisi meminta beberapa pakaian untuk Rashid,” dan menambahkan, “Kadang-kadang ketika Rashid muncul di pengadilan ‘Israel’, pihak keluarga bahkan tidak diberitahu tentang sesi rahasia di mana anaknya akan hadir sendirian dengan hakim dan saksi.”
Dia melanjutkan, “Setiap kali saya menghadiri sidang, saya bisa melihat bekas-bekas penyiksaan pada wajah anak saya dan anak-anak lainnya, tapi yang terakhir kali bekasnya sangat parah. Ia sangat sakit dan demam dan polisi memberinya beberapa jenis obat yang kami tahu apa-apa tentangnya.”
Sang ayah mengimbau organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional dan lembaga-lembaga hukum untuk turun tangan guna menyelamatkan anak-anak dari Al-Quds, yang menderita di bawah pendudukan dan penahanan yang berkelanjutan yang merampas masa kanak-kanak dan pendidikan mereka.
(banan/arrahmah.com)