JAKARTA (Arrahmah.com) – Sssttt…ada bocoran baru, BNPT diam-diam sedang mengintai pelajar Indonesia yang sedang belajar di Yaman. Seperti halnya Densus 88 mencap orang Indonesia yang berjihad di Afghanistan dengan stigma teroris. Ketika ditanya, apakah pelajar Indonesia yang belajar di Yaman patut dicurigai?
“Bukan patut dicurigai. Tapi Yaman dianggap sebagai sumber perekrutan dan pelatihan kelompok Al Qaeda, setelah lari dari Afghanistan yang berada di wilayah perbatasan Pakistan. Atau sebaliknya, perpindahan dari Yaman ke Afghan. Memang tak bisa digeneralisir untuk mencurigai pelajar Indonesia yang belajar di Yaman,” ungkap Kepala Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai kepada Ar rahmah disela-sela workshop Deradikalisasi di Hotel Alila, Jakarta, belum lama ini.
Ansyaad Mbai mendapatkan informasi, bahwa ada mahasiswa Indonesia di Saudi Arabia yang ditangkap aparat keamanan setempat, karena dianggap terlibat terorisme. “Sudah tiga bulan mahasiswa Indonesia tersebut masih ditahan di Saudi. Tapi saya lupa namanya,” jelas Ansyaad.
Diakui Ansyaad, Saudi memang tergolong negara yang paling keras dalam menangani kasus teroris. Terlebih ancaman Al Qaeda baru kini mulai merambah ke Yaman. Belakangan ini, kata Asyaad, mulai banyak yang menyeberang dari Yaman ke Saudi. Ada pula seorang yang dideportasi oleh Saudi ke Yaman.
Soal Deradikalisme
Mengenai maraknya paham ‘radikalisme’, Ansyaad Mbai mengatakan, bukan hanya di lembaga-lembaga keagamaan yang perlu diwaspadai, tapi juga lembaga pendidikan umum. “Yang dimaksud, bukan perguruan tinggi pinggiran, tapi lembaga pendidikan favorit, seperti Universitas Indonesia dan beberapa kampus favorit lainnya. Radikalisme di lingkungan kampus, juga bukan di aspek jurusan dan sosial, tapi eksak dan science. Di Bandung, misalnya, ada sarjana teknik kimia tamatan ITB yang terlibat teroris,” ungkapnya.
Kepala BNPT itu juga tidak ingin menuding sebuah institusi tertentu sebagai sarang teroris. Sama halnya, ketika pesantren sempat dianggap sebagai pembibitan teroris. “Di pesantren sendiri, tidak ada yang salah dengan kurikulumnya. Yang dikhawatirkan adalah kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan Usra yang mencari kader.”
Ansyaad mensinyalir, ada delapan titik di Jawa Tengah yang akan menjadi target operasi BNPT. Termasuk Banten dianggap wilayah kelompok radikal. Ansyaad juga menginformasikan tentang adanya kepala satpol PP Provinsi Banten yang direkrut sebagai jaringan teroris. Bahkan di Klaten, ada eks TNI yang turut dalam perekrutan. Termasuk polisi, seperti Sofyan Tsauri.
Lebih jauh, Ansyaad Mbai menilai, hukuman bagi pelaku ‘teroris’ masih terlalu “lembek”. Keberadaan pelatihan militer, misalnya, belum dijadikan sebagai bentuk kejahatan. Ansyad memberi contoh, di Inggris memberi hukuman 10 tahun bagi mereka yang menebar kebencian dan permusuhan. Bahkan di seluruh negara, telah mengkriminalkan mereka yang melakukan pelatihan militer. Sementara di Indonesia tidak memberlakukan itu. “Pantas negara kita jadi sarang teroris. Lihat saja, kenapa Noordin M Top lari dari Malaysia ke Indonesia. Karena di Malaysia hukumannya lebih berat dari Indonesia,” pungkasnya.
Para ‘teroris’, dikatakan Ansyaad, merasa hanya bermusuhan dengan polisi (Densus 88). “Ini salah besar. Itulah sebabnya BNPT melibatkan TNI. Filosofinya adalah kirim pesan bahwa teroris bukan hanya berhadapan dengan polisi, tapi juga dengan negara ini. Simbolnya adalah ya tentara itu.”
Menurut Ansyaad Mbai, fenomena teror yang terjadi bukan merupakan masalah agama, melainkan ideological motivated violanceyang mengatasnamakan agama. “Meskipun sejumlah pelaku teror sudah banyak yang tewas, tertangkap dan dijatuhi hukuman (termasuk eksekusi mati), namun belum seluruh jaringan teroris terungkap.” Ujarnya.
Kemungkinan aksi-aksi teror di kemudian hari, lanjut Ansyaad, tidak dapat diabaikan karena kelompok-kelompok ‘teroris’ masih aktif merekrut anggota-anggota baru dan mengadakan pelatihan serta upaya-upaya untuk melakukan serangan.
Dikatakan Ansyaad, serangan tindakan-tindakan dan aksi-aksi teror, merupakan buah dari berbagai dialektika pembenaran yang dicoba dibangun oleh kelompok-kelompok ‘teroris’ tersebut. Sehingga membuat kita tersadar akan perlunya kebersamaan umat Islam di Indonesia, dalam memahami, memantau dan mengelola pencegahan terorisme. “Sikap mental dan cara pandang yang sama menjadi modal dasar kita untuk menanggulangi terorisme,” tandasnya.
BNPT seperti diakui Ansyaad Mbai, mempunyai program deradikalisasi yang akan melibatkan elemen-lemen masyarakat, disamping upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut kian menegaskan, bahwa program penanggulangan terorisme, bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi menjadi tugas dan agenda semua pihak.
“Kejahatan terorisme yang berakar pada radikalisme mengatasnamakan kepercayaan harus kita cegah sekuat tenaga. Kecenderungan radikalisme sangat berbahaya jika kita biarkan berkembang luas,” jelasnya.
Ansyaad juga mengungkapkan, aksi-aksi yang dilatarbelakangi paham radikal dengan berpedoman pada aliran kepercayaan, ideologi, maupun keluguan cara berpikir, membawa kesadaran kita bersama, bahwa tindakan-tindakan yang mengandalkan “hard power” atau represif, meskipun dengan dalih penegakan hukum disertai tindakan fisik operasional di lapangan, ternyata tidak efektif dan cukup kuat untuk menghentikan aksi-aksi teror tersebut.
“Realitas yang ada membuktikan, bahwa beberapa pemain lama masih ikut bermain dalam rangkaian aksi teror akhir-ahir ini, berdampingan dengan pemain-pemain baru. Karenanya, upaya penanggungan terorisme harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik Pemerintah maupun masyarakat, khususnya para ulama dan tokoh Islam.”
Fenomena terorisme bersifat kompleks dan muti dimensional, serta penanganannya memerlukan kerjasama multi sektor, terutama terkait upaya pencegahan faktor-faktor penyebab terorisme, seperti faktor kepemimpinan, faktor jaringan, pelatihan, tempat persembunyian pelaku teror, dan adanya logistik atau pendanaan terhadap aktivitas teror. Hal terpenting adalah penanganan bagi mereka yang telah menjalani masa hukuman, agar tidak kembali lagi ke kemunitasnya.
Oleh karena penanganan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi, maka hal inilah yang mendasari pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010. Badan ini bukan merupakan badan yang baru, tetapi merupakan upaya peningkatan efektifitas kinerja kelembagaan yang telah ada sebelumnya, yaitu Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang berada pada Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum Keamanan (Polhukam).
(ahmad zidan/arrahmah.com)