DEPOK (Arrahmah.com) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Lazzuardi Birru dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia mengadakan talkshow bertajuk “Bincang-Bincang Bersama Mantan Terorisme” dengan menghadirkan Abdurahman Ayub sebagai ex-ideolog JI-NII dan Nasir Abbas sebagai ex-Mantiqi III Jama’ah Islamiyah.
Dalam acara tersebut kedua pembicara, lebih banyak menjelaskan awal sejarah mereka bersinggungan dengan gerakan NII dan JI. Abdurahman Ayub sendiri menjelaskan bahwa pertama kali ia bersentuhan dengan NII ketika ia bertemu dengan Sulaeman Mahmud, seorang yang dikenal orang kepercayaan Daud Beureuh di kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta, dan selanjutnya bersentuhan dengan JI setelah hijrah.
“Saya mengenal JI di Aghanistan, setelah berpisahnya Abdullah Sungkar dengan Ajengan Masduki,” kata Abdurrahman yang dikenal sebagai da’i salafiyah sekarang ini.
Sedangkan Nasir Abbas sendiri, mengaku mengenal NII ketika telah sampai di Afghanistan, di saat ia sedang mengikuti pelatihan militer di sana. Ia baru menyadari setelah diceritakan oleh teman-temannya di sana. Sehingga menurutnya, tergabungnya ia di NII bukan karena memahami betul perjuangan NII.
“Mungkin dulu saya karena ikut-ikutan saja,” tukasnya.
Selain bercerita panjang lebar tentang perjalanan sejarah mereka ditubuh NII dan JI, tidak banyak terjadi pembahasan terkait ideologi NII dan JI itu sendiri. Abdurahman Ayub hanya mengulas ketidaksetujuan dengan perjuangan harakah-harakah jihad lantaran dianggap tidak dengan cara yang benar.
“Niat mereka memang mulia, ingin mendirikan Negara Islam, tetapi caranya belum benar,” lontar Ayub.
Tak jauh berbeda dengan Ayub, Nasir Abbas juga hanya mengulas sedikit sisi ideologi, sembari menekankan pentingnya bersikap kritis terhadap setiap pandangan yang diterima. Ia menyerukan setiap muslim bersikap lemah lembut kepada siapapun dalam menyampaikan pandangannya, jangan memaksakan kehendak, terlebih mengkafirkan orang lain.
“Kita berbicaralah dengan bil hikmah, seperti diajarkan di dalam Qur’an,” ujar mantan pelatih di Afghanistan ini.
Namun, beberapa peserta menyayangkan sikap kedua pembicara yang dianggap terkesan menstigma secara umum istilah-istilah dalam gerakan dakwah di kalangan kampus dan masyarakat memiliki hubungan dengan pola rekruten teroris.
“Tolong dijelaskan, jangan sampai semua menganggap usroh itu sarang teroris,” tandas Arif.
(Bilal/arrahmah.com)