TEL AVIV (Arrahmah.id) – Surat kabar Maariv mengutip pernyataan mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional “Israel”, Jenderal Purnawirawan Giora Eiland, yang menyatakan bahwa “Israel telah mengalami kegagalan total dalam Perang Gaza.”
Eiland, yang merupakan perancang Rencana Para Jenderal untuk memindahkan penduduk dari wilayah utara Gaza, menjelaskan bahwa kekalahan “Israel” dalam perang ini dapat diukur berdasarkan pihak mana yang berhasil mencapai tujuannya dan siapa yang mampu memaksakan kehendaknya atas pihak lain.
“Jika kita melihat isi perjanjian terkait Gaza, maka ‘Israel’ telah membuka perbatasan Rafah, menarik pasukannya dari Koridor Netzarim, sementara ribuan warga Palestina telah kembali ke utara Gaza,” ujarnya.
Rencana Para Jenderal: Upaya Pemindahan Paksa Warga Gaza
Istilah Rencana Para Jenderal pertama kali muncul di media “Israel” pada awal September 2023. Rencana militer ini terdiri dari dua tahap, sebagaimana diumumkan oleh Forum Perwira dan Pejuang Cadangan.
- Tahap pertama: Memindahkan seluruh penduduk yang tersisa di utara Gaza, yang kemudian akan dinyatakan sebagai zona militer tertutup pada tahap berikutnya.
- Tahap kedua: Menerapkan strategi yang sama ke seluruh Jalur Gaza.
Dalam implementasinya, rencana ini mengusulkan:
- Menjadikan wilayah utara Koridor Netzarim sebagai zona militer tertutup.
- Memaksa sekitar 300.000 warga Palestina di utara Gaza untuk mengungsi dalam waktu satu minggu.
- Mengosongkan wilayah utara dari penduduknya guna menghilangkan keberadaan Hamas sepenuhnya dan mencegah masuknya bantuan kemanusiaan.
Tiga Kesalahan Strategis “Israel” dalam Perang Gaza
Menjelang perjanjian gencatan senjata, surat kabar Yedioth Ahronoth menerbitkan artikel dari Giora Eiland yang mengkritik strategi militer “Israel” dalam perang ini.
Artikel tersebut, berjudul “Kesimpulan Perang Gaza: Tekanan Militer Saja Tidak Cukup”, menyoroti tiga kesalahan utama yang dilakukan “Israel” dalam perangnya melawan Gaza.
1. Mengadopsi Narasi AS yang Salah
Eiland menyebut bahwa salah satu kesalahan terbesar adalah mengikuti narasi Amerika Serikat yang menyamakan Hamas dengan ISIS.
Menurutnya, Hamas bukan sekadar “organisasi teroris yang memaksakan kekuasaannya atas Gaza”, tetapi merupakan sebuah entitas politik yang ia sebut sebagai “Negara Gaza”. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa “Israel” seharusnya memperlakukan Hamas sebagai negara musuh dalam perang, yang di antaranya mencakup strategi pengepungan ekonomi total.
“Dalam perang antarnegara, pengepungan ekonomi terhadap musuh adalah hal yang umum. ‘Israel’ sebenarnya tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar bagi Gaza dalam perang ini, tetapi justru bisa memperketat blokade lebih jauh,” klaimnya.
2. Gagal Memanfaatkan Kelemahan Hamas
Menurut Eiland, tujuan utama dalam perang adalah “memaksa lawan untuk bertindak melawan kehendaknya”. Ia menyebut ada tiga metode utama untuk mencapai tujuan ini:
- Pemberlakuan sanksi ekonomi, yang akan menimbulkan kemarahan dan ketidakpuasan di kalangan warga Gaza. Ini merupakan inti dari Rencana Para Jenderal, yang telah diterapkan di utara Gaza.
- Mendukung pemerintahan alternatif di Gaza, sesuatu yang selalu ditolak oleh “Israel” sepanjang perang.
- Mengancam hilangnya wilayah bagi warga Palestina (pemindahan paksa). Menurutnya, “Israel” belum sepenuhnya menerapkan strategi ini.
Eiland menilai bahwa “Israel” terlalu fokus pada strategi militer konvensional yang hanya mengandalkan tekanan militer, tanpa mempertimbangkan bahwa Hamas telah bersiap menghadapi tekanan tersebut selama 15 tahun terakhir.
3. Tidak Memiliki Rencana Politik Pasca-Perang
Kesalahan ketiga yang disebutkan Eiland adalah kegagalan “Israel” dalam menyusun rencana politik terkait masa depan Gaza setelah perang.
Ia menyoroti kunjungan Presiden AS Joe Biden ke “Israel” setelah serangan 7 Oktober 2023. Dalam pertemuan tersebut, Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, ditanya tentang rencana pasca-perang. Namun, Netanyahu tidak memberikan jawaban yang jelas dan hanya mengatakan, “Ketika kita mencapai hari berikutnya, kita akan membicarakan hari berikutnya.”
Bagi Eiland, jawaban tersebut menunjukkan kurangnya visi strategis pemerintah “Israel”. Ia berpendapat bahwa lebih baik jika sejak awal “Israel” menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan wilayah atau politik di Gaza, melainkan hanya kepentingan keamanan yang berfokus pada pelucutan senjata total di wilayah tersebut.
Seharusnya, menurut Eiland, “Israel” bersedia berdiskusi dengan negara-negara Arab atau Barat mengenai solusi politik yang dapat menjamin keamanan jangka panjang.
Kesimpulan
Eiland mengakhiri analisanya dengan menegaskan bahwa “Israel” perlu mengevaluasi kembali strategi militernya. Ia menegaskan bahwa tekanan militer saja tidak cukup untuk mencapai kemenangan dalam perang semacam ini. Sebaliknya, diperlukan pendekatan yang lebih luas, termasuk langkah-langkah ekonomi dan politik yang dapat melemahkan musuh secara sistematis.
Menurutnya, jika “Israel” tidak segera mengubah strategi, perang ini akan berlangsung lebih lama tanpa menghasilkan kemenangan yang nyata.
(Samirmusa/arrahmah.id)