GAZA (Arrahmah.com) – Blokade Gaza telah dimulai pada tahun 1991, yakni bermula ketika Israel melarang warga Palestina untuk bergerak bebas melalui Israel dan Wilayah Palestina Pendudukan. Sejak blokade tersebut, muncul gerakan-gerakan pembebasan Palestina, seperti Freedom Flotilla pertama yang berakhir dengan diserangnya armada tersebut oleh militer Israel.
Kini, armada kebebasan kedua pun sedang dalam pencekalan oleh pemerintah Yunani atas tekanan dari Israel. Bahkan para aktivia pro Palestina yang berusaha menunjukkan dukungan pada penduduk Palestina bertekat datang ke Israel dengan menggunakan pesawat. Yang kemudian dicekal oleh Israel di bandara Ben Gurion dan dipulangkan kembali ke negara masing-masing.
Pada dasarnya blockade tersebut banyak mendapat tentangan dari organisasi hak asasi manusia dan mengecamnya sebagai pelanggaran Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang hukuman kolektif terhadap penduduk sipil.
Menurut pemerintah Israel – dan sebagian besar media mainstream – blokade dimulai pada 2007, menyusul pengambilalihan Hamas dari Jalur Gaza. Yang mengklaim bahwa tujuan blockade tersebut adalah “perang ekonomi” untuk melemahkan Hamas.
Israel juga berusaha untuk menghentikan serangan roket dan untuk membebaskan Gilad Shalit, tentara Israel yang ditahan di Gaza sejak tahun 2006. Hampir lima tahun berlalu, namun tidak satupun dari tujuan telah tercapai.
Faktanya blokade itu tidak dimulai pada tahun 2007, setelah pengambilalihan Jalur Gaza oleh Hamas. Juga tidak dimulai pada tahun 2006, dengan sanksi ekonomi Israel terhadap Gaza. Pada dasarnya blokade Gaza adalah puncak dari sebuah proses yang dimulai sejak dua puluh tahun yang lalu.
Dimulainya hukuman blokade
Sari Bashi adalah pendiri dan direktur Gisha, sebuah LSM Israel yang melakukan advokasi untuk gerakan kebebasan Palestina. Dia mengatakan bahwa penutupan bertahap Gaza dimulai pada tahun 1991, ketika Israel membatalkan ijin keluar yang paling umum yang memungkinkan warga Palestina untuk bergerak bebas melalui Israel dan Wilayah Palestina Pendudukan.
Hal tersebut adalah selama Intifadah Pertama. Sementara Barat menstigmakan Intifadah sebagai tindakan bom bunuh diri, namun yang perlu diingat bahwa Intifadah Pertama pada dasarnya adalah pemberontakan non-kekerasan yang berupa pembangkangan sipil, pemogokan, dan boikot barang-barang produksi Israel.
Gelombang kekerasan datang, namun, pada tahun 1993. Saat itu, Bashi menjelaskan, bahwa Israel mulai menutup beberapa jalur penyeberangan sementara, bahkan mereka yang memegang izin keluar. Karena mayoritas warga Palestina bukan pelaku bom bunuh diri. Pembatasan pergerakan warga Palestina tersebut merupakan hukuman kolektif atas tindakan yang kelak dijadikan alasan blockade yang akan datang.
Awal Intifada Kedua, pada bulan September 2000, melihat siswa Palestina “dilarang bepergian dari Gaza ke Tepi Barat,” kata Bashi. Secara umum, hal tersebut merupakan identifikasi meningkatnya pembatasan perjalanan antara Wilayah Pendudukan Palestina.
Sementara pada tahun 2005 seharusnya menandai akhir pendudukan di Gaza, dalam kenyataannya, pengetatan pembatasan diberlakukan tidak hanya pada orang tetapi juga barang. Dan, pada tahun 2006, beberapa warga Gaza yang masih bekerja di Israel dilarang masuk, sehingga membuat mereka kehilangan pekerjaan.
Gaza saat ini
Perekonomian telah melesak ke dalam tanah. Tingkat pengangguran hampir 50 percen, bahkan empat dari setiap lima warga Palestina di Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan. Rumah sakit kehabisan persediaan.
Warga yang menderita penyakit kronis tidak selalu bisa mendapatkan izin keluar, yang dapat mengakibatkan kematian.
Siswa kadang-kadang dicegah dari mencapai sekolah mereka. Keluarga telah hancur. Beberapa psikolog mengatakan bahwa tekanan kuat yang diciptakan oleh blokade – yang diperparah selama Operasi Cast Lead – menyumbang lonjakan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan penyalahgunaan narkoba.
Ini tidak berakhir di perbatasan Gaza
Namun konsekuensi dari blokade tidak berhenti di perbatasan Gaza. Ketika pembatasan gerakan dimulai pada tahun 1991, beberapa buruh harian Palestina dicegah untuk datang ketempat kerja mereka di Israel. Dan ini merupakan kecanduan Israel terhadap tenaga kerja dengan gaji yang rendah sehingga membuat Israel mulai mengeluarkan visa bekerja untuk migran dari Eropa Timur dan Asia Tenggara.
Tahun 2009 masih dalam keadaan blokade parah terhadap Gaza, Israel mengumumkan bahwa mereka berniat untuk mendeportasi 1.200 anak-anak pekerja migran yang lahir di Israel termasuk orangtua mereka. LSM mengutuk pengusiran tersebut sebagai tindakan tidak manusiawi dan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Politisi Israel yang “masih jujur”mengakui bahwa pengusiran tersebut adalah upaya meminimalkan “ancaman demografis” ke Israel.
Pesan dari kedua hal tersebut, yakni blokade dan deportasi adalah sama. Keduanya menggambarkan bahwa Yahudi-Israel mempunyai hak istimewa tanpa memperdulikan dan mengorbankan mengorbankan hak-hak manusia siapa saja, yang dianggap “selain Yahudi Israel”.
Krisis pengungsi
Tentu saja, jika Anda bertanya kepada penduduk Gaza tentang kapan dimulai pembatasan gerak, mereka mungkin akan menunjukkan tahun 1984 yang melarang petani menanam pohon buah-buahan untuk diperjual belikan tanpa izin dari pemerintah militer Israel.
Dalam penjelasan terkait penurunan ekonomi Jalur Gaza, yang diterbitkan pada tahun 1987, Dr Sara Roy menunjukkan bahwa butuh waktu sekitar lima tahun bahkan lebih bagi para petani untuk memperoleh izin ini.
Sementara rakyat Gaza masih dapat bergerak masuk dan keluar dari Jalur Gaza pada saat itu, kemampuan mereka untuk hidup bebas di tanah mereka sendiri sudah sangat terbatas – seperti ekonomi mereka.
Menurut Dr Roy, pendudukan membuat Jalur Gaza tak berdaya dan tergantung pada Israel dan rentan terhadap fluktuasi ekonomi dan keinginan politik. Hal itu juga menciptakan pasar sebagai tempat pembuangan yang nyaman untuk barang-barang Israel.
Tapi, Dr Roy menjelaskan bahwa kesengsaraan ekonomi Gaza tidak dimulai dari awal pendudukan.
Tetapi dimuali sejak masuknya, pengungsi Palestina pada tahun 1948. Jalur Gaza yang waktu itu perekonomiannya tergantung pada sector pertanian, tidak mampu mencukupi kebnutuhan warganya yang bertambah banyak setelah ditambah dengan para pengungsi.
Sementara itu, para aktivis penyelenggara armada kebebasan dan aktivis pro Palestina lain mengungkapkan bahwa mereka berusaha untuk menantang blokade Israel di Gaza, membongkar blokade itu sendiri. Serta berusaha menyelesikan permaslahan penting yang harus diselesikan antara lain: status pengungsi Palestina; dampak buruk pendudukan selama 40 tahun yang tak berujung, dan penindasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel kepada setiap orang non Yahudi.
Sayangnya bahkan PBB dan Amerika yang kerap memberikan sanksi pada negara-negara lain dengan sanksi militer yang tegas yang berakhir pada invasi dan pembantaian rakyat sipil, tak mampu menghentikan Israel, dan hanya berani melakukan tindakan sebatas “mengecam” yang tak pernah digubris oleh Israel. Fakta ini, seolah menunjukkan bahwa pada dasarnya dunia ini memang telah berada dalam cengkeraman Israel. (rasularasy/arrahmah.com)