Di negeri ini, tentara bayaran (mercenaries) memiliki catatan sejarah yang panjang. Walau minim publikasi, para mercenaries ini sebenarnya sudah bermain di Nusantara bersamaan waktunya dengan pendaratan pasukan kolonial VOC di abad ke-16.
Perang AS di berbagai negara, seperti di Irak dan Afghanistan menurut sebagian pengamat bukan semata-mata alasan perang melawan terorisme. Perang itu juga menjadi ladang bisnis perusahaan senjata dan perusahaan jasa tentara bayaran bahkan perwujudan dari penerapan ideologi Kristen konservatif, para pendukung Perang Salib. Penulis Jeremy Scahill mengupasnya dalam buku terbarunya yang menjadi buku best seller. Selain Scahill, sebenarnya sudah banyak penulis yang mengupas tentang “bisnis perang” dan agenda yang tersembunyi di dalamnya, yang melibatkan negara-negara besar seperti AS dan sekutunya.
Dalam buku terbarunya berjudul “Blackwater:The Rise of the World’s Most Powerful Mercenary Army” ( www.blackwaterbook.com ), Scahill mengungkap keterlibatan Blackwater, perusahaan jasa pelayanan tentara bayaran dan persenjataan swasta terbesar di AS dengan para theocon dan pasukan milisi Kristen Sovereign Military Order of Malta di berbagai wilayah konflik di dunia.
Scahill dalam bukunya menulis, perusahaan yang berbasis di Carolina Utara ini, memimpikan perusahaan mereka menjadi perusahaan jasa kurir semacam FedEx, bagi operasi-operasi pertahanan dan keamanan AS. Dan mimpi itu nampaknya sudah terwujud karena saat ini Blackwater, sudah mendapatkan kontrak terkait aktivitas perang di Irak dari pemerintah AS yang nilainya mencapai 500 juta dollar AS. Angka ini belum termasuk “anggaran rahasia” pemerintah AS untuk kontrak-kontrak antara Blackwater dengan agen-agen intelejen AS.
Blackwater juga mendapat kontrak dari Departemen Luar Negeri AS sebesar 300 juta dollar. Pada tahun 2003, perusahaan jasa tentara bayaran ini bahkan mendapat kontrak tanpa melalui tender dari Deplu AS untuk operasi perlindungan terhadap Paul Bremer, wakil pemerintah AS di Irak.
Blackwater menurut Scahill, mengerahkan ribuan tentara yang sangat terlatih ke Irak dan Aghanistan. Empat tentara bayarannya-yang oleh media massa disebut sebagai pasukan AS-pernah menjadi korban penyergapan pejuang Irak pada tahun 2004. Keempat tentara itu dibunuh dengan cara dibakar dan tubuhnya digantung selama berjam-jam di sebuah jembatan di kota Fallujah. Peristiwa inilah yang memicu aksi serangan besar-besaran “pasukan” AS ke kota itu.
Mengatasnamakan Demokrasi dan Kebebasan
Perusahaan Blackwater ( www.blackwaterusa.com ) didirikan pada tahun 1996 dan menjadi salah satu perusahaan jasa militer swasta terbesar di dunia. Perusahaan ini, menurut Scahill, memiliki 20 pesawat tempur dan 20 ribu tentara yang siap dikirim kapan saja sesuai pesanan.
Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS melaporkan, perusahaan-perusahaan kontraktor swasta, seperti Blackwater, merupakan “kekuatan” kedua AS di Irak. Saat ini, sedikitnya ada 48 ribu tentara bayaran yang beroperasi di Negeri 1001 Malam itu, dan jumlah tentara bayaran yang tewas tidak masuk dalam data Pentagon.
Pendiri dan pemimpin Blackwater adalah Erik Prince. Prince, tulis Scahill, adalah seorang pendukung perang salib modern, sangat kaya dan sumber uang utama bagi Presiden George. W Bush. Sejak 1998, Prince mendonasikan sekitar 200 ribu dollar untuk kandidat presiden dari Partai Republik.
Scahill dalam bukunya juga menulis, Prince menunjukkan “betapa kuatnya secara politik, kalangan fundamentalis Kristen dan Neocon dalam melakukan tekanan bagi pertempuran mereka, dengan mengatasnamakan ‘kebebasan’ dan ‘demokrasi’.” Prince juga punya koneksi dengan kelompok-kelompok Kristen konservatif dan ikut membiayai organisasi-organisasi sayap kiri lewat yayasan Freiheit Foundation.
Prince, menurut Scahill, selalu mengaitkan misi-misi perusahaannya dengan gerakan theocon, istilah bagi orang-orang yang menganut ideologi konservatif berdasarkan pada keyakinan bahwa agama seharusnya memegang peranan penting dalam membuat keputusan publik.
“Setiap orang membawa senjata, seperti Nabi Jeremiah membangun kembali kuil di Israel-pedang di tangan yang satu dan kulir di tangan satunya lagi,” demikian pernyataan yang pernah dilontarkan Prince.
Menurut istilah ensiklopedi Wikipedia, theocon mengacu pada anggota-anggota sayap Kristen, khususnya mereka yang menganut ideologi sintesis elemen-elemen seperti paham konservatisme sosial dan kalangan orang-orang Amerika serta kalangan penganut Kristen konservatif. Mereka mengekpresikan pahamnya itu melalui medium politik.
Penulis Jacob Heilbrunn dalam artikelnya berjudul “Neocon vs Theocon” pada tahun 1996 menyatakan bahwa,”Para theocon, juga beragumentasi bahwa Amerika berakar pada ide tersebut, namun mereka meyakini bahwa ide itu sebenarnya ide-ide kekristenan. ”
Ideologi Perang Salib
Schahill, dalam bukunya juga mengupas tentang keterlibatan para eksekutif di Blackwater sebagai anggota dari milisi sebuah ordo dalam keyakinan Kristen bernama Sovereign Military Order of Malta ( www.smom.org ).
“Sejumlah eksekutif senior Blackwater seperti Joseph Schmitz, bukan hanya penganut fanatis ideologi theocon tapi juga anggota dari Sovereign Miltary Order of Malta, pasukan milisi Kristen yang misinya mempertahankan wilayah-wilayah perang Salib yang berhasil direbut umat Islam, tulis Scahill.
Sebelum bergabung dengan Blackwater sebagai Kepala Operasi dan anggota Dewan Umum pada tahun 2005, Schmitz mengatur semua kontrak operasi militer di Irak dan Afghanistan. Schmitz, kata Scahill, adalah mantan inspektur jenderal di Pentagon di tahun-tahun pertama perang AS di Irak.
Terkait milisi Sovereign Military Order of Malta, Scahill menjelaskan, pasukan milisi ini awalnya adalah organsisasi sosial Kristen di Al-Quds, muncul pada tahun 1080, yang tugasnya memberikan bantuan bagi warga miskin dan peziarah yang datang ke Kota Suci itu, yang menderita sakit.
Setelah penaklukan Al-Quds pada 1095-era Perang Salib pertama- organisasi ini menjadi Ordo Militer Katolik. Dan setelah umat Islam berhasil merebut Al-Quds, Ordo ini beroperasi dari wilayah Rhodesia, kemudian pindah ke Malta, di bawah kekuasaan kaum Sicilia di Spanyol.
Para anggota Ordo Militer Katolik ini dikenal sebagai “Pejuang Sukarelawan” yang membantu pasukan Perang Salib menyerang negara-negara Muslim yang berada di sepanjang pesisir Italia, termasuk Tunisia, Libya dan Maroko.
Ordo Soverign Military Order of Malta, sekarang memiliki negara sendiri bernama Malta yang berlokasi di Roma dan diakui oleh sekitar 50 negara di dunia. Sampai sekarang, Ordo ini diduga masih melakukan misi-misi misionaris di negara-negara yang sedang dilanda konflik, seperti Darfur di Sudan, dengan berkedok sebagai organisasi bantuan sosial.
Para anggota Ordo, ini disumpah, dan sumpahnya berbunyi,”Saya akan melengkapi diri saya sendiri dengan senjata dan amunisi, bahwa saya harus siap sedia ketika mendapat perintah, atau ketika saya dikomando untuk membela gereja, baik secara individu maupun dengan pasukan milisi Paus.” (ln/iol/Eramuslim)