Kredibilitas pemerinah akan turun jika tetap dilanjutkan berbisnis dengan Israel. Demikian pendapat pakar politik luar negeri Universitas Gadjah Mada (UGM)
Rencana Israel untuk memasuki bisnis kilang minyak dan bahan bakar nabati di Indonesia tidak perlu disambut oleh Pemerintah Indonesia, karena jika hal itu terwujud maka akan menurunkan kredibilitas Pemerintah Indonesia.
“Hubungan bisnis seharusnya diserasikan dengan kebijakan politik yang telah diambil oleh pemerintah. Kalau memang tidak ada hubungan diplomatik, tidak sepatutnya kita membina hubungan bisnis dengan Israel,” kata pakar politik luar negeri dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riza Noer Arfani MA di Yogyakarta, Jumat.
Utusan Israel telah menyampaikan ketertarikannya untuk memasuki bisnis kilang minyak dan bahan bakar nabati di Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu.
Menurut dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu, meskipun hubungan dagang berbeda dengan hubungan diplomatik, namun jika Indonesia mengizinkan Israel berbisnis di Indonesia, maka akan tercipta risiko politik yang besar bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Hubungan bisnis bukan semata-mata berkaitan dengan uang dan keuntungan, namun akan menimbulkan efek bagi kondisi politik, apalagi hubungan ini dilakukan dengan negara yang sudah dipandang negatif oleh rakyat Indonesia.
“Citra Israel di mata masyarakat Indonesia sudah buruk, sehingga akan muncul banyak reaksi kalau pemerintah mengizinkan Israel untuk menanamkan modal di Indonesia,” katanya.
Riza mengatakan, kalau rencana bisnis ini terwujud dan dikelola oleh pemerintah daerah NTT, mungkin lebih kecil risikonya karena mayoritas penduduknya bukan muslim.
“Meski demikian, realisasi rencana itu tetap bukan langkah yang patut diambil pemerintah kalau hubungan diplomatik saja tidak ada, bisa-bisa Indonesia dibilang bermuka dua,” kata Riza.
Sebagaimana diketahui, sebuah kelompok perusahaan Israel, Grup Merhav, beberapa saat yang lalu mengumumkan akan menanamkan investasi pada pengembangan bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel dengan perusahaan budi daya tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan modalnya investasi mencapai US$ 700 juta atau sekitar Rp. 6 trilyun. Kabar ini masih menjadi polemik dan perdebatan banyak pihak.
Sumber: Hidayatullah