Oleh Beggy Rizkiyansyah
(Anggota Jurnalis Islam Bersatu)
(Arrahmah.com) – Bisakah pers netral? Pertanyaan itu mungkin menggelayuti benak masyarakat hingga saat ini. Kita saat ini memang dipertontonkan keberpihakan yang telanjang tanpa malu-malu dari banyak media saat ini. Musim politik semakin menyuburkan praktek keberpihakan media hingga bukan saja terkesan partisan, tapi tanpa sungkan berpolitik praktis menjadi juru propaganda dalam pilkada atau pilpres.
Fenomena ini jika ditelisik lebih jauh menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Di satu sisi pers seringkali mengklaim independen, netral atau objektif. Tetapi keberpihakan pada satu kelompok atau partai dilakukan semakin telanjang. Jika demikian, apakah pers bisa netral?
Media massa atau tepatnya perusahaan pers sesungguhnya adalah kumpulan manusia dengan jurnalis sebagai ujung tombaknya. Ketika bersentuhan dengan fakta di lapangan, ia bukanlah perekam pasif, tetapi terjadi interaksi antara dirinya dengan realitas. Para jurnalis ini tentu saja bukan robot yang tak memiliki seperangkat nilai, kepercayaan, pandangan hidup atau ideologi dalam dirinya. Malah disadari atau tidak, hal-hal tadi turut membentuk dirinya menilai sebuah realitas.
Fakta dilapangan kemudian dibawa ke ruang redaksi yang terdiri dari sekumpulan manusia yang memiliki nilai-nilai pula. Menurut Mark Fisherman, “News story, if they reflect anything, reflect the practice of the workers in the organizations that produce news.” (Eriyanto: 2012)
Di dalam perusahaan pers, jurnalis hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan dan nilai-nilai tertentu. Hal itu memungkinkan bagi sebuah media mengontrol wartawan untuk melihat peristiwa dalam kemasan tertentu. Bahkan dapat dikatakan di ruang redaksi media condong menjadi kediktatoran, dalam arti seseorang yang berada dalam komando teratas yang membuat keputusan terakhir (Bill Kovach & Tom Rosenstiel: 2004)
Eriyanto, dalam Analisis Framing (2012) menyebutkan bahwa berita yang dibentuk oleh media massa bukan berasal dari ruang yang hampa, tapi diproduksi oleh ideologi tertentu. Begitu besarnya pengaruh ideologi dalam media massa sehingga ideologi berperan menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi tampak seperti nyata, alami dan benar. Melalui bahasa dan kata-kata, ideologi menjelma menjadi “realitas” yang harus dipahami oleh khalayak. (Eriyanto: 2012)
News, Discourse and Ideology (2008) yang ditulis Teun A. Van Dijk dalam The Handbook of Journalism Studies, menyebutkan ideologi yang rasialis misalnya, memberikan dampak pada produksi berita. Mulai dari pemilihan sumber daya jurnalis (hiring), pemilihan sumber (beats and sources), nilai berita (news values), penempatan berita (salience), hingga pilihan kata (rhetoric).
Jika demikian maka netralitas bukanlah sifat yang dapat diberikan pada pers. Bahkan Kovach dan Rosesnstiel tidak menempatkan ketidakberatsebelahan (fairness) dan keseimbangan (balance) dalam sembilan elemen jurnalisme mereka.
Ketidakberatsebelahan dan keseimbangan bukanlah tujuan, tetapi metode. Keseimbangan bukanlah semacam kesan matematis pada porsi berita yang disajikan. Begitu pula ketidakberpihakan. Bukanlah soal apakah berita terkesan berat sebelah? Seharusnya ketidakberpihakan dimaknai sebagai sikap jurnalis yang berlaku adil terhadap fakta dan pemahaman warga atas fakta-fakta tersebut. (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: 2004)
Satu hal yang dapat dituntut dari jurnalis adalah objektivitas. “Objektivitas Meminta wartawan mengembangkan sebuah metode untuk secara konsisten menguji informasi –pendekatan transparan menuju bukti-bukti-dengan tepat sehingga bias personal dan bias budaya tidak melemahkan akurasi kerja mereka,” demikian menurut Kovach dan Rosenstiel. (2004)
Maka objektif yang dapat dituntut bukanlah pada sosok jurnalis itu sendiri, namun metode yang dipakai oleh jurnalis untuk memperoleh berita. Metode ini merupakan pencerminan dari disiplin verifikasi informasi yang harus dilakukan setiap jurnalis.
Seperangkat konsep inti dalam disiplin verifikasi yang ditawarkan Kovach dan Rosenstiel adalah; jangan pernah menambahi sesuatu yang tidak ada, jangan pernah menipu audiens, berlakulah setransparan mungkin tentang metode dan motivasi anda; andalkan reportase anda sendiri; dan bersikaplah rendah hati. Seperangkat prinsip tersebut dapat membantu jurnalis untuk menjadi objektif. (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: 2004)
Objektivitas tersebut yang dapat diharapkan. Bukan netralitas atau ketidakberpihakan. Oleh sebab itu bukanlah persoalan jika jurnalis memiliki ideologi, pandangan hidup atau nilai-nilai tertentu. Meminjam kalimat jurnalis Maggie Gallagher, “Ada perbedaan antara jurnalis dengan juru propaganda. Saya mencari berita tidak untuk memanipulasi audiens saya. Saya mencari untuk mengungkap dan menyampaikan kepada mereka dunia sebagaimana saya melihatnya.” (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: 2004)
Seorang jurnalis muslim sudah seharusnya memiliki Islam sebagai pandangan hidupnya dalam situasi apa pun. Termasuk ketika ia menjadi jurnalis (meliput). Pandangan hidupnya tak dapat dilepaskan dari dirinya. Nilai-nilai Islam sebagai seorang muslim akan memandu dirinya dan menjadi kacamata dalam melihat realitas. Islam memiliki cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. (Hamid Fahmi Zarkasyi: 2013) Disaat yang bersamaan, sebagai jurnalis, ia tetap berpijak pada fakta dan disipilin verifikasi dalam menulis berita. Termasuk berlaku adil menyikapi fakta.
Adalah menggelikan jika ada yang mengatakan, ketika jurnalis sedang meliput berarti harus menanggalkan sementara identitas agamanya agar tetap independen. Tidak ada manusia yang bebas dari nilai dan pandangan hidup. Pemahaman menanggalkan agama ketika meliput justru sebenarnya adalah bentuk lain dari pandangan hidup barat moderen yang mengusung sekularisme. (Hamid Fahmi Zarkasyi: 2013)
Baik seorang jurnalis muslim, ataupun pers Islam tak perlu ragu untuk menerapkan dan mengungkapkan pandangan hidup Islam dalam dirinya. Justru keterbukaan atas pendirian dan sikap tersebut menjadi bagian dari kejujuran dalam menulis berita yang tetap bersandar pada fakta. Persoalannya betapa banyak saat ini media atau pers yang menepuk dadanya sebagai netral dan tidak berpihak, seakan bebas nilai, padahal hal tersebut adalah mustahil.
Lebih parah lagi betapa banyak saat ini pers yang menyokong satu kelompok, figur atau partai politik, namun mendapuk dirinya tak berpihak. Kekonyolan loyalitas semacam ini adalah manipulatif. Loyalitasnya pada partai atau faksi hendak ditutupi oleh jubah dengan slogan independensi. Jurnalis dan pers ketika meliput dan memproduksi berita seharusnya loyal pada tujuan, bukan pada faksi atau partai.
Kenyataannya, di Indonesia saat ini media arus utama begitu telanjang menunjukkan keberpihakan pada kelompok, partai atau figur. Misalnya, Kelompok Media MNC jelas dimiliki oleh pendiri partai Perindo. Metro TV didirikan oleh pendiri partai Nasdem.
Fenomena menyedihkan seperti ini terus melaju semakin kencang dan massif. Namun jurnalis muslim dan pers Islam tak perlu terseret arus yang sama. Tak perlu menceburkan diri dalam politik praktis dan partisan. Cukuplah Islam sebagai pandangan hidup yang menjadi panduan tanpa menjadi media partisan. Karena pandangan hidup yang bersemayam dalam jurnalis muslim dan disiplin verifikasi (objektivitas) adalah dua hal yang dapat hidup berdampingan dalam diri seorang jurnalis muslim.
Tulisan ini merupakan Program #MelekMedia dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
(ameera/arrahmah.com)