Berada di atas bukit di utara Ramallah, membuat gedung-gedung putih dan pohon pinusnya tersapu cahaya musim semi. Para mahasiswa duduk di bangku, obrolan mereka bergema di antara perpustakaan dan observatorium.
Sebagian besar kegiatan di Universitas Birzeit sama seperti banyak lembaga pendidikan di Timur Tengah, karena hampir 14.000 mahasiswa menempuh pendidikan di sana, maka dapat kita lihat mahasiswa yang berjalan di lorong-lorong kelas atau bangunan lain sambil bercakap-cakap.
Namun selama empat dekade terakhir, salah satu tempat belajar di Palestina yang paling menonjol tersebut telah menjadi pusat perlawanan bagi banyak orang yang tinggal di Tepi Barat.
Kehadirannya tidak luput dari perhatian otoritas “Israel”. Pada bulan Maret, salah satu unit dari lima pasukan rahasia “Israel” menyamar sebagai jurnalis TV dan pelajar Palestina memasuki Birzeit untuk menculik Omar Kiswani, ketua dewan mahasiswa di universitas tersebut.
Kiswani diminta oleh salah satu Mistaravim – sebutan salah satu pasukan rahasia – untuk diwawancarai, di depan kamera, di depan gedung dewan kampus.
Tapi kemudian, menurut para saksi, dia dijatuhkan ke tanah dan ditahan oleh pasukan Mistaravim yang menyamar, kemudian mereka mengeluarkan senjata api dari ransel mereka, mengarahkan senjata mereka pada para mahasiswa agar tidak menyerang mereka dan melepaskan tembakan ke udara. Akibat insiden itu dua mahasiswa dan seorang karyawan universitas terluka, ungkap staf universitas kepada Middle East Eye.
Waleed Sayej, seorang penjaga keamanan Universitas Birzeit, mengatakan kepada media bahwa setelah pasukan Mistaravim menahan Kiswani, tentara “Israel” memasuki kampus dari gerbang barat untuk mendukung operasi tersebut.
“Mereka mengunci penjaga di ruang penerima tamu,” katanya. “Kami tidak bisa melindungi para mahasiswa.” Postingan dari insiden segera viral di media sosial.
Dalam sebuah pernyataan, universitas mengatakan: “Ini bukan gangguan kekerasan pertama yang dilakukan pasukan militer ‘Israel’, mereka secara sistematis menyerang universitas – meskipun universitas secara khusus dilindungi di bawah hukum humaniter internasional – dan terus-menerus mengganggu mahasiswa, anggota fakultas, dan staf di Universitas Birzeit dan institusi pendidikan Palestina lainnya. ”
Seorang juru bicara militer “Israel” mengatakan kepada media Times of Israel bahwa Kiswani ditangkap karena “dicurigai terlibat dalam kegiatan teror”.
‘Pesan dari mereka untuk menimbulkan ketakutan di hati kita
Penangkapan Kiswani, membuat kekhawatiran para mahasiswa di kampus, kejadian tersebut tidak biasa terjadi di Universitas Birzeit, universitas terbesar kedua di Tepi Barat dan pusat kehidupan budaya, politik dan akademik Palestina.
Sundus Hammad, yang merupakan koordinator Kampanye Hak untuk Pendidikan di Birzeit, sebuah gerakan yang diluncurkan pada tahun 1988 untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana penjajah “Israel” telah melarang akses pendidikan bagi warga Palestina.
Dia mengatakan itu adalah serangan kelima yang dilakukan tentara “Israel” di kampus Birzeit dalam dua tahun terakhir, selama ini serangan pasukan “Israel” adalah kejadian biasa, hingga pada tanggal 7 Maret terjadi serangan ketika jam sekolah, saat para mahasiswa berada di kampus.
“Itu adalah penculikan, cara mereka memasuki universitas, menyusup, hingga tentara yang menyamar untuk menculik Omar seperti ini,” katanya. “Itu adalah pesan dari mereka untuk menempatkan ketakutan di dalam hati kami. Kami benar-benar terkejut dengan cara barbar yang dilakukan untuk menyerang kampus kami.”
Kiswani sekarang ditahan di pusat interogasi Compound Rusia di Yerusalem barat, yang terkenal dengan penyiksaannya yang kejam kepada para tahanan, kata Hammad.
Pemimpin mahasiswa tersebut telah melakukan mogok makan selama dua minggu sebagai protes atas kondisi di penjara, di mana ia diinterogasi hingga 18 jam sehari.
Aktivitas dan pandangan politik Kiswani bukanlah hal baru bagi para mahasiswa Birzeit sebelumnya.
Salah satu alumni Universitas Birzeit yang juga novelis Palestina Sahar Khalifeh, yang belajar dan kemudian mengajar di universitas. Novel-novelnya menggambarkan kondisi kehidupan di bawah penjajahan “Israel”, terutama di Nablus, di mana ia dibesarkan.
Yahya Abdul Latif Ayyash, seorang mahasiswa teknik elektro, lulus dari Birzeit pada tahun 1991, kemudian menjadi kepala pembuat bom untuk Hamas dan pemimpin batalyon Tepi Barat Brigade Izzuddin Al-Qassam.
Dia dibunuh oleh Mossad pada tahun 1996 dengan telepon yang telah dipasangi peledak di kota Beit Lahia, Gaza.
Marwan Al-Barghouti, alumni lain, menjadi salah satu pemimpin Intifada Kedua di awal tahun 2000-an. Dia lulus dari fakultas sejarah dan ilmu politik, dan memimpin dewan mahasiswa Birzeit dari tahun 1983 hingga 1986, ketika dia mewakili Al-Shabiba, cabang mahasiswa Fatah.
Karena dituduh membunuh seorang penduduk “Israel”, Barghouti dipenjara oleh tentara “Israel” pada tahun 2002 dan sekarang menjadi salah satu tokoh politik Palestina yang paling menonjol di dalam tahanan.
Majed Abdul Fattah menjabat sebagai penjabat presiden serikat mahasiswa universitas selama Intifada Pertama, yang dimulai pada Desember 1987.
“Saya pernah mendengar tentang Birzeit karena secara akademis universitas tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Palestina, dan dikenal sebagai universitas nasional, tempat di mana nasionalisme tidak hanya dipahami secara teori namun juga praktik,” katanya.
“Ini adalah pendidikan nyata. Ini bukan hanya kurikulum, itu juga pendidikan hidup. Ketika saya bergabung dengan Birzeit, saya merasakan itu setiap hari.”
Universitas di atas bukit
Nama Birzeit berasal dari nama desa tempat ia dibangun, yang dikenal sebagai “sumur minyak zaitun” selama pendudukan Romawi dua ribu tahun yang lalu. Pohon zaitun, yang merupakan lambang universitas, masih merupakan fitur umum di kampus dan bukit-bukit sekitarnya.
Sekolah Birzeit dibuka pada tahun 1924 dan menjadi sebuah perguruan tinggi pada tahun 1960 dan kemudian sebuah universitas pada tahun 1975 ketika Nassers, sebuah keluarga intelektual dan tokoh nasional Palestina, menyumbangkan beberapa tanah keluarga mereka.
Salah satu gedung kampus menyandang nama Kamal Nasser, seorang penyair, penulis, dan pemimpin politik. Dia bergabung di sekolah itu selama tahun 1930-an hingga 1940-an, kemudian diasingkan dari Tepi Barat oleh “Israel” pada tahun 1967, saat menjadi anggota Organisasi Pembebasan Palestina dan dibunuh oleh pasukan “Israel” di Beirut pada tahun 1973.
Pada November 1974, ketika lembaga itu berubah dari perguruan tinggi menjadi universitas, pemerintah “Israel” mendeportasi Hanna Nasser, presidennya, dan empat warga Palestina lainnya ke Lebanon, pemerintah “Israel” mengatakan bahwa mereka menjadi ancaman bagi keamanan “Israel”.
Nasser mempertahankan posisinya dan pindah ke Amman, di mana dia bekerja untuk memperoleh akreditasi dan dukungan keuangan untuk Birzeit.
Universitas pernah ditutup sebanyak 15 kali oleh tentara “Israel” antara tahun 1973 hingga 1992. Penutupan terlama terjadi ketika dimulainya Intifada Pertama, saat para mahasiswa di Birzeit dan tempat lain mengadakan demonstrasi massa.
Pada 10 Januari 1988, tentara “Israel” menutup kampus Birzeit dan melarang siapa pun masuk, sebagai bagian dari diadakannya jam malam. Penghentian itu berlangsung selama 51 bulan dan merupakan yang terpanjang yang pernah terjadi di universitas Palestina manapun.
Siswa, guru dan manajemen membuat sistem yang mereka sebut “sel pendidikan ilegal”, mereka mengadakan kelas di rumah, di asrama dan bahkan di gerbang universitas yang tertutup. Mahasiswa sains, misalnya, mengubah dapur mereka menjadi laboratorium.
Abdul Fattah ingat ketika suatu hari kelas-kelas diadakan di dewan kantor wali di Ramallah, yang berikutnya di rumah seorang guru. “Beberapa kelas diadakan di kota-kota lain seperti Nablus atau Gaza,” katanya.
“Ada sekitar 2.500 siswa ketika universitas ditutup. Awalnya, kelas diadakan hanya untuk siswa yang hampir lulus, tetapi pada tahun 1990 hampir semua siswa yang terdaftar sebelum Intifada Pertama mulai mengambil setidaknya satu kelas.”
Universitas dibuka kembali pada 29 April 1992 dan mengadakan upacara kelulusan untuk 700 siswa pada akhir tahun itu.
“Itu adalah kenangan paling indah yang pernah kita miliki saat itu,” kata Abdul Fattah. “Saat itu kami berusia 22 tahun, di usia itu biasanya adalah usia yang revolusioner. Kami berada di usia ketika kami berpikir tentang membangun masa depan kami, dan kami pikir kami adalah kunci untuk membangun masa depan negara.”
Mengapa pemilihan siswa penting
Palestina tidak memiliki kesempatan untuk memilih dalam pemilihan presiden sejak 2005. Selama satu dekade terakhir, suasana di Birzeit telah menjadi barometer vital politik Palestina yang lebih luas, terutama di kalangan penduduk yang lebih muda (di Tepi Barat, hampir 58 persen dari populasi berusia 24 ke bawah pada tahun 2016).
Birzeit juga merupakan salah satu dari beberapa universitas yang mahasiswanya berasal dari luar daerah, membuatnya menjadi representasi yang lebih beragam dari warga Palestina, meskipun fragmentasi Tepi Barat dengan pos pemeriksaan “Israel” telah menghambat banyak mahasiswa untuk menghadiri kelas, Hammad mengatakan bahawa sekitar 40 persen mahasiswa berasal dari luar distrik Ramallah.
Sejak 2015 blok Islam Al-Wafaa, yang berafiliasi dengan Hamas, telah memenangkan mayoritas suara dalam pemilihan mahasiswa, di depan faksi Faty-linked Martyr Yasser Arafat. Kiswani mewakili Wafaa ketika dia terpilih pada Mei 2017, sehingga blok Al-Wafaa mendapat 25 dari 51 kursi di dewan mahasiswa.
Kiswani sendiri telah ditahan oleh Otoritas Palestina sebelumnya, mungkin karena berafiliasi dengan Hamas, termasuk setelah pemilihan mahasiswa pada tahun 2015.
Sementara Hamas memuji kemenangan Wafaa sebagai bukti eksistensinya di Tepi Barat, beberapa analis telah menafsirkan hasil tersebut sebagai penolakan terhadap Otoritas Palestina di kampus historis pro-Fatah.
Tapi para mahasiswa mengatakan, pemilihan itu membuat sedikit perbedaan pada pasukan “Israel”. Sejak 2004, tentara “Israel” telah menahan 10 perwakilan OSIS di universitas, terlepas dari afiliasi mereka dengan Fatah ataupun Hamas.
Menurut Hammad, setidaknya 59 mahasiswa Birzeit dan satu anggota staf saat ini ditahan oleh “Israel”. Kampanye Hak atas Pendidikan hanya mampu mewakili para mahasiswa yang dipenjara yang tidak mampu membayar pembelaan hukum mereka.
“Pendidikan adalah alat untuk melawan penjajahan, itu adalah cara bagi kita untuk mengembangkan diri sebagai manusia,” katanya. “Penjajahan tidak menginginkan orang-orang yang berpendidikan yang dapat mengatakan tidak kepada rezimnya.”
“Mereka mengira Universitas Birzeit adalah ancaman karena mereka tidak menginginkan adanya universitas yang mampu mendidik orang-orang untuk membuat perbedaan dalam status quo.”
Abdul Fattah mengatakan bahwa pihak berwenang “Israel” memahami bahwa mahasiswa dan buruh adalah kunci untuk revolusi apa pun.
“Mahasiswa adalah kunci utama karena mereka sangat energik, mereka benar-benar tidak takut kehilangan,” katanya. “Mereka hanya berpikir bahwa masa depan ada di tangan mereka.”
“Saya pikir itu sebabnya orang “Israel” menargetkan mahasiswa, karena ketika Anda berada di usia 20-an dan Anda berbicara politik itu berarti ada kemungkinan Anda akan bertindak.” (Rafa/arrahmah.com)