Oleh Dian Puspita Sari
Aktivis Muslimah Ngawi
(Arrahmah.com) – Di tengah pandemi Covid-19 tak kunjung usai, Pemerintah Kota Madiun, Jawa Timur, berencana membuka tempat rekreasi dan hiburan malam sebagai upaya pemulihan ekonomi. Salah satu tempat hiburan yang dibuka adalah bioskop. Untuk itu, Pemkot melakukan pengecekan kesiapan penerapan protokol kesehatan di sejumlah gedung bioskop.
”Kami pastikan apakah sudah sesuai dengan prokes. Selain itu, kami minta pihak pengelola bioskop agar lebih tegas terhadap pengunjung. Karena saat lampu dimatikan, dikhawatirkan ada yang merapat. Padahal seharusnya jaga jarak,” ujar Kabid Pariwisata Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kota Madiun Romadhon. (jawapos.com, 11/3/2021)
Selain Madiun, Ponorogo juga berencana membuka bioskop. Sesuai surat edaran (SE) Bupati Ponorogo tertanggal 9 Maret, menerangkan bahwa bioskop diizinkan untuk beroperasi dengan pengaturan pembatasan kapasitas sebesar 50 persen, dari kapasitas semua tempat duduk. Selain itu, pengaturan jam operasional sampai dengan pukul 21.00 WIB disertai penerapan protokol kesehatan secara ketat. (beritajatim.com, 12/3/2021)
Terlepas dari upaya Pemkot Madiun dan Ponorogo menerapkan protokol kesehatan (prokes) Covid-19 yang ketat dalam rencana pembukaan bioskop, ada bahaya lain yang harus diwaspadai oleh semua pihak. Yaitu bahaya dampak negatif serangan budaya asing, khususnya barat.
Di antara yang menjadi wasilah (perantara) masuknya budaya asing adalah pencabutan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang sudah dilakukan pemerintah sejak 2015-2016.
Pencabutan DNI ini menuai beragam reaksi pro kontra dari dalam negeri.
Menurut produser Maxima Pictures Ody Mulya Hidayat, di samping pencabutan DNI akan membuat rumah produksi dan bioskop kecil mengalami kesulitan karena tidak mampu bersaing; dengan adanya investasi asing, bioskop asing akan mengutamakan film dari negaranya. Melalui film, budaya (termasuk budaya asing) juga akan lebih mudah digambarkan sehingga penyampaiannya lebih mudah dicerna film. Hal tersebut, kata Ody, dapat mempengaruhi budaya Indonesia. “Ini bahaya buat budaya kita,” kata dia kepada Tempo pada Minggu, 13 Desember 2015. (swa.co.id, 13/12/2015)
Adapun Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengatakan, industri perfilman Indonesia merupakan salah satu sektor bisnis yang cukup menjanjikan. Untuk itu dia berharap, semakin banyak investor yang menanamkan dananya untuk industri ini.
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 yang mengeluarkan film dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal ini menjadi langkah awal dalam mengundang pemilik modal nasional don internasional melirik industri perfilman Indonesia.
“Ada kegairahan yang bagus di dalam negeri setelah dicabutnya DNI 2016 akhir oleh pemerintah. Sekarang film mulai diinvestasikan oleh semua dalam negeri dan luar negeri,” ujar Triawan di Arhotel, Jakarta, Kamis (13/9/2018). (liputan6.com, 13/9/2018)
Benar. Di balik pencabutan DNI ini, keuntungan materi sudah terbayang melimpah. Namun, keuntungan materi yang diperoleh dari industri kreatif (APBN naik, menyerap tenaga kerja, banyaknya bisnis bioskop dan rumah industri) tidak sebanding dengan dampak negatif dari serangan budaya barat. Apakah mereka pernah memikirkan hal ini?
Sebelum pencabutan Daftar Investasi Negatif yang memudahkan asing untuk berinvestasi dalam dunia perfilman saja, akhlak generasi muslim negeri ini sudah lama dirusak oleh paham sekularisme-liberalisme yang mengagungkan kebebasan. Apalagi jika asing dibiarkan bebas bersaing dalam investasi perfilman di negeri ini. Mereka jelas akan bebas menyebarluaskan budaya sekuler mereka yang tak sejalan dengan adat ketimuran terlebih lagi agama (baca: Islam).
Bagi kaum kapitalis sekuler, bahaya merusak dari paham sekuler ini bukan masalah. Begitu juga pembukaan bioskop di tengah pandemi dan pencabutan DNI. Mereka malah menganggap hal ini adalah peluang peningkatan ekonomi, dengan menghidupkan kembali dunia perfilman tanah air. Masalah bahaya pandemi dan dampak buruk budaya asing bagi jutaan generasi bangsa mereka abaikan.
Selama ini Indonesia dikenal luas sangat terbuka dengan budaya asing, salah satunya melalui industri perfilman. Akibatnya, generasi bangsa ini banyak mengalami dekadensi akhlak. Pergaulan bebas (prostitusi, perselingkuhan) marak. Begitu juga narkoba, aborsi, dan beragam kriminalitas.
Apakah hal ini terus kita biarkan?
Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?
Islam Allah turunkan untuk menyempurnakan semua syariat-Nya terdahulu.
Sehingga tidak ada yang tidak diatur dalam Islam. Semua diatur Allah dalam Islam. Termasuk dunia perfilman.
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya “Tuntas Memahami Halal dan Haram”, film termasuk menonton film adalah salah satu sarana hiburan yang sifatnya sama dengan hiburan lainnya. Artinya, hiburan tersebut bisa dimanfaatkan ke dalam sesuatu yang baik atau yang buruk
Asal memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, konten di dalam film harus bersih dari ajaran yang bertentangan dengan akidah, syariat, dan etika dalam Islam. Konten cerita yang mengajarkan keburukan, membangkitkan syahwat dan naluri duniawi, serta mengajak penonton untuk berbuat dosa jelas diharamkan.
Oleh sebab itu, seorang muslim harus mampu memilih mana film yang baik dan buruk. Tontonlah film yang baik. Jangan tonton film yang buruk, ikut menyebarkannya, atau terlibat dalam proses pembuatannya.
Kedua, ketika seorang muslim melakukan hal yang mubah, jangan sampai kemubahan itu melalaikannya dari kewajiban. Ia boleh saja menonton film yang baik, tetapi tidak boleh mengabaikan kewajiban agama dan kewajiban dunia, seperti shalat lima waktu atau hak-hak orang lain yang harus ia tunaikan.
Oleh sebab itu, ketika menonton film sedangkan waktu salat sudah tiba, hendaklah ia salat terlebih dahulu lalu boleh melanjutkan aktivitasnya.
Ketiga, hendaklah aktivitas menonton film terhindar dari ikhtilat, yaitu percampuran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Mengapa? Agar tidak menimbulkan fitnah dan syubhat, terlebih jika film atau pertunjukkan yang kita tonton berada di tempat gelap.
Rasulullah saw. bersabda,
“Kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagi dirinya.” (HR. at-Thabrani)
Jadi, seseorang boleh saja menonton film dan pertunjukkan asalkan memenuhi ketiga syarat di atas. Hal ini bertujuan agar kita terhindar dari segala sesuatu yang menyalahi syariat-Nya.
Realita yang kita lihat saat ini, dunia perfilman dimanfaatkan oleh negara pengemban ideologi kapitalis sekuler untuk menyebarluaskan keburukan. Seperti pergaulan bebas dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya yang menginspirasi jutaan bahkan miliaran orang untuk berbuat keburukan.
Sebaliknya, dalam Islam, dunia perfilman akan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh negara untuk menyebarluaskan kebaikan, yakni dakwah Islam rahmatan lil alamin ke penjuru dunia.
Negara dalam konteks ini adalah khilafah.
Wallahu a’lam bishawwab.
(*/arrahmah.com)