(Arrahmah.id) – Bagi sebagian besar umat Islam yang pernah mendengarnya, nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tidak dapat dipisahkan dari nama gurunya, pembaharu mazhab Hanbali abad ke-7 H/13 M, Ibnu Taimiyah.
Syams ad-Din Muhammad Ibnu Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jauziyyah lahir pada 691 H/1292 M di az-Zur’i, sebuah desa kecil 55 mil dari Damaskus. Sedikit yang diketahui tentang masa kecilnya kecuali bahwa ia menerima pendidikan Islam yang komprehensif berkat ayahnya yang seorang kepala Madrasah al-Jauziyyah, salah satu dari sedikit pusat studi fikih Hanbali di Damaskus, karenanya, nama yang kemudian dikenal tersemat padanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – putra dari kepala sekolah Jauziyyah – atau sederhananya, Ibnu al-Qayyim.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim melanjutkan pembelajarannya di kalangan para syeikh yang memenuhi masjid-masjid kota.
Dia belajar di bawah bimbingan Ash-Shibab an-Nabilisi, Abu Bakr Ibn ‘Abd ad-Da’im, Al-Qadhi Taqi ad-Din Sulaiman, ‘Isa al-Mut’im, Fatimah binti Jauhar, Abu Nasr al-Baha’ Ibnu Asakir , ‘Ala’ ad-Din al-Kindi, Muhammad Ibnu ‘Abdul-Fath al-Ba’labaki, Ayyub Ibnu Al-Kamal dan Al-Qadhi Badr ad-Din Ibnu Jama’ah.
Dia juga mengambil ilmu hukum waris dari Isma’il bin Muhammad dan membacakan bahasa Arab kepada ‘Abdul-Fath al-Ba’labaki dan Al-Majd at-Tunisi. Dia belajar fiqh dengan sekelompok ulama tertentu, di antaranya Isma’il Ibnu Muhammad al-Harrani, dan dia mengambil ‘Usul al-Fiqh dari As-Safi al-Hindi.
Akan tetapi, sepertinya selama beberapa waktu, dia berada di bawah pengaruh ajaran Mu’tazili dan mungkin juga para mistikus tertentu. Dalam Ode panjang epik yang dia tulis di tahun-tahun berikutnya, dia menyebut periode ini sebagai salah satu kebingungan dan kesesatan: “Semua [cara] ini saya coba, dan saya seperti jatuh ke dalam jaring, berkibar seperti burung yang tidak tahu ke mana harus terbang.”
Masa ini berakhir pada 712 H/1312 M, ketika pada usia dua puluh satu tahun ia bertemu dengan seseorang yang kelak membentuk orientasi hidupnya dalam Islam: Taqi ad-Din Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah baru saja kembali ke Damaskus setelah tujuh tahun tinggal di Mesir, yang terakhir ia habiskan sebagai tahanan rumah. Reputasinya sebagai pembela sunnah dan mazhab Hanbali yang tak kenal kompromi dikenal baik oleh masyarakat Suriah. Kekokohan dan kekuatannya menarik bagi Ibnu al-Qayyim muda, yang “seperti burung yang tertangkap jaring, tidak tahu harus terbang ke mana.” Bagaimanapun, ikatan terbentuk antara kedua pria ini dan berlangsung selama 16 tahun sampai kematian Ibnu Taimiyah.
Antara 712 H/1312 M dan 726 H/1326 M, Ibnu Al-Qayyim menikah dan memiliki tiga putra – Ibrahim, ‘Abdullah dan Sharaf ad-Din. Dia mencari nafkah sebagai guru dan Imam di sekolah Jauziyyah.
Pelajarannya tentang fikih Hanbali dan ceramah-ceramahnya menunjukkan pengaruh kuat gurunya, karenanya pada 726 H/1326 M, ketika otoritas Damaskus memerintahkan penangkapan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya, Ibnu Al-Qayyim termasuk di antara mereka.
Pada 728 H/1327 M, Ibnu Taimiyah meninggal dunia. Baru pada saat itulah Ibnu al-Qayyim keluar dari penjara untuk bergabung dengan orang banyak yang mengikuti jenazah Ibnu Taimiyah ke pemakaman.
Ibnu al-Qayyim hidup di masa di mana terjadi perselisihan dan kekacauan internal, serta ancaman eksternal yang mengancam negara Islam. Karena itu, beliau senantiasa berpesan agar berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta penolakan terhadap perpecahan. Dia ingin membersihkan agama dari bid’ah dan mengembalikannya ke sumbernya yang murni dan asli. Dia tidak menyukai orang-orang yang taqlid buta, ia menyerukan untuk kembali ke jalan para Salaful shalih dan mengikuti metodologi mereka.
Karenanya beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Hanbali dan seringkali beliau mengambil pendapat dan pandangan dari mazhab lainnya, atau terkadang beliau mungkin memiliki pendapat yang bertentangan dengan pendapat semua mazhab lainnya. Jadi, mazhabnya adalah ijtihad dan penolakan terhadap taqlid (dan ini adalah sikap semua ulama terdahulu dan sekarang tapi bukan ditujukan untuk kalangan awam atau muqallid].
Banyak ulama yang bersaksi tentang ilmu dan ketakwaannya. Ibnu Hajar berkata tentang dia, “Dia memiliki hati yang berani, luas dalam pengetahuan dan sangat mengenal perbedaan (pendapat) dan madzahib Salaf.” Syeikhul Islam, Muhammad Ibnu ‘Ali asy-Syaukani berkata, “Dia membatasi diri pada bukti paling otentik (Al-Qur’an dan Sunnah), dan bertindak berdasarkan dua hal ini. Dia tidak bergantung pada pendapat (ra’i), dia akan menghadapi orang lain dengan kebenaran dan tidak akan kasar terhadap siapa pun sehubungan dengan itu.”
Ibnu Katsir berkata, “Dia menyibukkan dirinya dengan ilmu, siang dan malam. Dia membaca Al-Qur’an dengan indah dan dicintai oleh banyak orang. Dia tidak iri atau menyakiti siapa pun, juga tidak mencoba mencari-cari kesalahan mereka, atau memendam kebencian terhadap mereka. Pendeknya, ada beberapa orang-orang seperti dia dan dia didominasi oleh kebaikan dan sifat bajik.”
Ibnu Rajab menulis, “ Semoga Allah memberkahinya, dia adalah seorang yang rajin beribadah dan salat malam, seseorang yang selalu memperpanjang rukuk dan sujudnya selama mungkin, kembali kepada Allah, dalam mencari pengampunan, dalam ketergantungannya pada Allah dan dalam kerendahan hati di hadapan-Nya. Dia mencapai tingkat pengabdian yang belum pernah saya saksikan pada orang lain, juga belum pernah saya lihat orang yang lebih luas dalam belajar atau lebih tahu tentang arti dari Al-Qur’an, Sunnah, dan realitas iman. Dan sementara aku tahu dia tidak maksum, namun aku belum pernah melihat orang yang lebih dekat dengan arti kata ini.”
Mulla ‘Ali al-Qari mengatakan, “Dan siapa pun yang menyelidiki buku Sharh Manazil as-Sa’irin (Madarij as-Salikin), akan menjadi jelas baginya bahwa keduanya (artinya Ibnu Al-Qayyim dan Ibnu Taimiyah) adalah di antara yang paling senior dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan di antara Awliya’ (Allah) umat ini.”
Al-Hafidh As-Suyuti mengatakan, “Dan dia adalah salah satu ulama senior dalam tafsir, hadits, ‘ushul, furu’ dan bahasa Arab.”
Ia mengarang dan menyusun dalam bidang fikih, ‘ushul , biografi ( siyar ), sejarah dan ilmu hadits. Bersamaan dengan ini dia adalah seorang ahli bahasa, sangat mengenal tata bahasa. Dia juga banyak menulis puisi.
Ibnu al-Qayyim meninggal pada malam Kamis, 13 Rajab 751H/1350M dan dimakamkan di kaki Gunung Qasiyun, Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir, dekat makam ayahnya – rahimahumallah.
Ibnu al-Qayyim meninggalkan banyak karya tulis, di antara yang paling terkenal adalah:
- Shifa’ al-Alil
- Miftah Dar as-Sa’adah
- Za’ad al-Ma’ad fi Haydi Khayri’l-‘Ibad
- Hadiy al-Arwah ila Biladi’l-Afrah
- Ighathatu’l-Lahfan fi Hukm Talaq al-Ghadban
- Al-Jawab al-Kafi li man Sa’ala’ an Dawa’ ash-Syafi’i
- Madarij as-Salikin fi Manazil as-Sa’irin
- Tahdhib Sunan Abi Dawud
- As-Sawa’iq al-Mursalah ‘alal-Jahmiyyah wa’l-Mu’attilah
- Raf’ Yadayn fi’s-Salat
- Kitab al-Kaba’ir
- Hukm Tarik as-Salat
- Al-Kalam at-Tayyib wal-‘Amal as-Salih
- Sharh Asma’ al-Husna
- A’lam al-Muqaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin
Semoga Allah SWT merahmati Imam yang agung dan mulia ini, mengangkat derajatnya, derajat demi derajat di akhirat. Aamiin. (zarahamala/arrahmah.id)