(Arrahmah.com) – Imam Ibnu Khuzaimah nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi. Ia lahir pada bulan Safar 223 H (838 M) di Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan, yang sekarang terletak di bagian timur negara Iran.
Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, setelah itu konon ia sangat ingin untuk melawat menemui Ibn Qutaibah (wafat tahun 240 H) guna mencari dan mempelajari hadits. Lantas ia meminta izin kepada ayahnya namun ayahnya meminta agar puteranya terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an hingga benar-benarn memahaminya. Setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an barulah ia diizinkan oleh ayahnya mencari dan mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam serta Ibnu Qutaibah.
Sejak itulah, yakni sekitar tahun 240 H, ketika Ibnu Khuzaimah berusia tujuh belas tahun, ia giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Naisabur ia belajar kepada Muhammad bin Humaid (wafat tahun 230 H), Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H) dan lain-lain. Di Marwa kepada ‘Ali bin Muhammad, di Ray kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain, di Syam kepada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain, di Jazirah kepada ‘Abdul Jabbar bin al-A’la dan lain-lain, di Mesir kepada Yunus bin ‘Abdul al-A’la dan lain-lain, di Wasit kepada Muhammad bin Harb dan lain-lain, di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani dan lain-lain, di Basrah kepada Nashr bin ‘Ali al-Azadi al-Jahdimi dan lain-lain, dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la al-Hamdani dan lain-lain.
Selain itu ia pun banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Zuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi dan sebagainya. Iapun menerima hadits dari imam al-Bukhari, Muslim dan Khalaq. Guru-guru imam Ibnu Khuzaimah memang sangat banyak jumlahnya. Dalam periwayatan hadits ia tidak mau menyampaikan hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah ia terima dari guru-gurunya sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali ia memperlihatkan cacatan-cacatannya kepada guru-gurunya.
Demikian juga dengan orang-orang atau murid-murid yang pernah meriwayatkan hadits dari Ibnu Khuzaimah jumlahnya sangat banyak, sejumlah guru pun ada yang menerima hadits darinya, seperti al-Bukhari, Muslim dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Diantara murid-murid Ibnu Khuzaimah ialah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya di Naisabur ialah cucunya sendiri yaitu Abu Thahir Muhammad bin al-Fadl.
Hadits-haditsnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan hadits darinya ialah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah ibn Abdul Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin Abdullah bin al-Albihani, Abu Bakar Muhammad bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir dan lain-lain.
Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengetahuan, akhirnya beliau menjadi seorang imam besar di Khurasan. Iapun banyak menggeluti hadits dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah ia terkenal sebagai seorang hafizh dan digelari Imam al-A’immah (pemimpin diantara para pemimpin).
Dari segi kepribadiannya pun Ibnu Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik. Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang hal ini. Ia dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan dengan penyampaian hadits yang keliru. Hal ini, misalnya ia lakukan ketika mengkritik Ismail bin Ahmad, salah seorang penguasa pada saat itu, yang menyampaikan hadits yang didalam sanadnya terdapat periwayatan yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadhi. Demikian lah kesaksian yang diberikan oleh Abu Bakar bin Baluih.
Iapun dikenal sangat dermawan dan suka bersedaqah. Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (wafat tahun 387 H), cucu Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi uang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan bahwa Ibnu Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin.
Selain itu, iapun dikenal memiliki kecerdasan atau daya hafal yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibnu Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dari hafalan al-Qur’an”. Hal senada juga juga dikemukakan oleh ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibnu Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Ibnu Khuzaimah dalam bidang fiqih, disamping Ibnu Rahawaih dan al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa iapun banyak memperoleh manfaat dari Ibnu Khuzaimah.
Selama masa hayatnya, Ibnu Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibnu Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama ataupun judulnya. Karyanya yang masih dapat dijumpai sampai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid dan Kitab Shahih (Mukhtashar)-nya (yang lebih populer dengan nama Shahih Ibnu Khuzaimah-red). Namun berdasarkan penyelusuran M.M. Azhami terhadap kedua kitab tersebut di dalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama “kitab” yang pernah disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah. Nama-nama kitab yang disebutkan itu ialah: 1) al-Asyribah, 2) al-Imamah, 3) al-Ahwal, 4) al-Iman, 5) al-Iman wa al-Nuzur, 6) al-Birr wa al-Silah, 7) al-Buyu, al-Tafsir, 9) at-Taubah, 10) al-Tawakkal, 11) al-Jana’iz, 12) al-Jihad, 13) al-Du’a, 14) al-Da’awat, 15) Zikr Na’im al-Jannah, 16) Zikr Na’im al-Jannah, 17) al-Sadaqat, 18) al-Sadaqat min Kitabihi al-Kabir, 19) Sifat Nuzul al-Qur’an, 20) al-Mukhtashar min Kitab al-Salah, 21) al-Salat al-Kabir, 22) al-Salah, 23) al-Siyam, 24) al-Tibb wa al-Raqa, 25) al-Zihar, 26) al-Fitan, 27) Fadl Ali bin Abi Thalib, 28) al-Qadr, 29) al-Kabir, 30) al-Libas, 31) Ma’ani al-Qur’an, 32) al-Manasik, 33) al-Wara’, 34) al-Wasaya, dan 35) al-Qira’ah Khalfa al-Imam.
Dari penyebutan 35 nama kitab diatas, menurut M.M. Azhami termasuk-termasuk “Kitab” terdapat dapat memiliki tiga kemungkinan: (1) merupakan judul atau nama buku tersendiri, (2) hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku, dan (3) dapat pula berarti kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul atau nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku. M.M. Azhami berpendapat bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadits seringkali menyusun kitab atau bukunya terdiri dari beberapa “kitab”. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Shahih al-Bukhari yang terdiri dari beberapa kitab yaitu (1) Kitab al-Iman, (2) Kitab al-Ilmi, (3) Kitab al-Wudlu, dan seterusnya.
Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Zulqai’dah 311 H, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam.
Disalin dari Bab 11 “ Shahih Ibnu Khuzaimah” oleh Dadi Nurhaedi dalam buku “Studi Kitab hadits” Penulis: Dosen tafsir fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta. Penerbit Teras Press. Yogyakarta. Cet-1, Oktober 2003.
(*/Arrahmah.com)