PALEMBANG (Arrahmah.com) – Program biofuel sebagai energi bersih merupakan mitos dan hanya untuk mendorong peningkatan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Hal itu diungkapkan Julian Junaidi, akademisi Universitas Sriwijaya (Unsri) di Palembang, Senin (7/12), pada acara diskusi tentang biofuel yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel).
Menurut dia, pembakaran energi biofuel 10 kali lipat dibandingkan pembakaran energi fosil. “Premium 1 ton menimbulkan CO2 (karbon dioksida) pada atmosfir sebesar 3,1 ton, sedangkan proses pembuatan 1 ton biofuel dapat menghasilkan 33 ton C02,” papar dia.
Ia mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa dampak yang dikeluarkan dari proses pembuatan biofuel sangat besar terhadap pemanasan global.
“Memang biofuel tidak menimbulkan pembakaran karbon yang dapat merusak lingkungan, akan tetapi prosesnya dapat berakibat besar terhadap kerusakan lingkungan,” katanya.
Selanjutnya dia mengatakan, program pengembangan biofuel, selain berdampak negatif terhadap lingkungan, juga menimbulkan konflik lahan pada masyarakat.
“Sudah ratusan konflik akibat dari ekspansi lahan perkebunan sawit, karena lahan digunakan yang benar-benar bukan lahan kosong, melainkan lahan telah digarap oleh masyarakat, “ujar dia.
“Kelapa sawit bukan energi terbarukan. Harga yang harus dibayar untuk sebuah energi berkelanjutan dari sawit teramat mahal. Jutaan hektare hutan dibabat kemudian menciptakan bencana ekologi dimana masyarakat untuk hidup secara normal telah gagal akibat peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia,” kata dia.
Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat mengatakan, program biofuel telah mendorong meningkatkan ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
Menurut dia, kelapa sawit tidak hanya dijadikan pemasok kebutuhan untuk industri pangan (minyak sayur), tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar mesin industri dan transportasi.
Ia mengungkapkan, dampak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan lingkungan, rusaknya hutan-hutan rakyat, hutan lindung dataran rendah di Sumatra dan hutan serta taman nasional.
“Selain itu program ini juga telah meningkatkan potensi konflik sosial. Berdasarkan catatan Sawit Watch tahun 2003 menerangkan bahwa konflik sosial berjumlah 140, akan tetapi di tahun 2007 meningkat hampir empat kali lipat yaitu tercatat 513 konflik sosial yang langsung bersentuhan dengan perkebunan besar kelapa sawit, “kata dia.
Ia menyebutkan hal tersebut sebagai bencana pembangunan yang didefinisikan sebagai faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial.
“Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus,” kata dia lagi. (antara/arrahmah.com)